Kamis, 18 Juli 2019

Kisah Utang Piutang Yang Menyebabkan Allah Sebagai Jaminan

Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hikayat dua laki-laki dari kalangan Bani Israil yang terlibat dalam transaksi utang-piutang. Kisah yang tertuang dalam hadits shahih ini menampilkan sebuah sikap yang unik namun sekaligus mengandung pesan mendalam.

Pria pertama secara khusus mendatangi temannya sesama Bani Israil untuk keperluan meminjam uang sebesar seribu dinar. Pemilik uang pun mengajukan syarat kepada si peminjam supaya mendatangkan saksi.

"Kafa billah syahidan (cukup Allah saja sebagai saksi)." jawab si peminjam

"Kalau begitu, berikan saya penjamin!" kata pemilik uang

"Kafa billahi wakilan (cukuplah Allah sebagai penjamin)," jawab lagi si peminjam

Pemilik uang itu pun ridha. Ia setuju menyerahkan seribu dinar sebagai utang dalam jangka waktu tertentu. Si peminjam juga lega dan hasilnya bisa menyeberangi lautan dan menunaikan keperluannya.

Mereka yaitu dua orang shalih yang bisa dipercaya. Karena itu ketika pembayaran utang sudah jatuh tempo, si peminjam bergegas mencari bahtera untuk pergi mengembalikan utang seribu dinar. Sayang, tak satu pun sarana transportasi bahari ia jumpai.

Tekadnya yang lingkaran untuk melunasi akad secara sempurna waktu menciptakan laki-laki peminjam uang tersebut tidak kekurangan akal. Ia ambil sebatang kayu, ia lubangi, kemudian ia masukkan ke dalamnya uang seribu dinar juga sepucuk surat untuk temannya itu.

Selanjutnya, ia membawa kayu itu ke laut. Dengan kepasrahan tingkat tinggi, ia bermunajat:

"Duhai Allah, sungguh Engkau mengetahui saya berutang kepada fulan seribu dinar. Dia meminta seorang penjamin kepadaku, kemudian saya menjawabnya, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’. Dia rela dengan-Mu. Dia meminta seorang saksi kepadaku, maka saya menjawabnya, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’. Lalu ia pun rela dengan-Mu. Dan saya telah berusaha mendapat bahtera untuk menunjukkan haknya namun saya tidak mendapatkannya. Dan kini saya menitipkannya kepada-Mu.”

Sebatang kayu berisi uang dan surat itu pun dilempar ke bahari sampai sempat karam ke dalamnya. Sementara si peminjam pergi meninggalkan nasib kayu dengan penuh kepasrahan. Tapi si peminjam tersebut tak lantas berpangku tangan. Dia terus berikhtiar mencari bahtera untuk bisa menyeberangi lautan.

Bagaimana nasib uang dan sepucuk surat tadi? Subhanallah, batang kayu itu tiba ke tangan pemilik uang (pengutang) dalam kondisi selamat dan sempurna waktu. Waktu itu gotong royong ia hanya melihat-lihat keluar, barangkali ada bahtera tiba dan seseorang membawa uang pelunasan utang. Yang terlihat justru sebatang kayu mengambang di air dan dikala dibuka ternyata berisi seribu dinar dan sepucuk surat.

Si peminjam gres berhasil menyeberangi lautan beberapa waktu kemudian. Ia tiba kepada temannya dengan perasaan bersalah. "Demi Allah, saya terus berusaha keras mencari bahtera untuk membayar utangku kepadamu. Tapi tidak kunjung dapat, sampai gres dikala ini saya bisa menemuimu."

"Apa engkau mengirimkan sesuatu untukku?" kata pemilik uang.

"Dengar, saya tak kunjung sanggup bahtera dikala itu." jawab si peminjam

“Sesungguhnya Allah telah mengantarkan untukmu uang pinjaman melalui mediator kayu yang engkau kirim. Sekarang, ambillah seribu dinarmu ini dengan baik.” Si pemberi pinjaman "menolak" utangnya dilunasi.



Kisah dari hadits shahih ini setidaknya memberi sejumlah pesan:

Pertama, wacana tolong-menolong antarsesama. Selagi mampu, sudah seyogyanya uluran tangan diberikan kepada mereka yang sedang membutuhkan, termasuk dalam bentuk sumbangan utang. 

Permintaan mendatangkan saksi dan penjamin oleh si pemberi utang yaitu sebuah mekanisme yang wajar. Dalam transaksi modern, saksi atau bukti-bukti berupa surat dan sejenisnya akan memperkuat kepercayaan dan rasa tanggung jawab kedua belah pihak. Saat mekanisme formal tersebut terpaksa tak sanggup dipenuhi, pinjam-meminjam tetap bisa dilaksanakan selama sifat amanah diyakini ada.

Kedua, rasa tanggung jawab yang besar. Si peminjam gotong royong bisa saja menyebabkan hambatan teknis (tak mendapat perahu) sebagai alasan untuk menunda pelunasan utang di luar tempo yang sudah ditentukan. Namun, ia tak melakukannya alasannya yaitu dengan demikian ia melanggar akad dan hak orang lain, dan urusan utang bukanlah tanggung jawab yang sederhana.

Ketiga, ikhtiar dan kepasrahan total. Ia memakai nama Allah tak sebagaimana politisi yang kasar mengeruk suara. Melainkan, membangun trust bahwa gerak-geriknya yang membawa tanggung jawab berat berada di bawah pengawasan-Nya. Tatkala tempo kewajiban itu tiba, ia pun berusaha keras mencari jalan keluar. Hingga pada situasi buntu, ia mengambil jalan alternatif langka tapi dengan tawakal yang tidak setengah-setengah. Si peminjam menempuh ikhtiar keras sebelum hasilnya berpasrah total.

Wallahu A’lam

Load comments