Senin, 01 April 2019

Kisah Syaikh Ma’Ruf Al-Karkhi Mendoakan Para Pemabuk

Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Imam Fariduddin Attar memasukkan dongeng unik dari Imam Ma’ruf al-Karkhi. Berikut kisahnya:

Dikisahkan bahwa Imam Ma’ruf al-Karkhi berjalan bersama murid-muridnya di tepian sungai Tigris, dan sekelompok cowok sedang asyik minum-minum khamr, menabuh rebab (sejenis alat musik), dan menampakkan kefasikan secara terbuka di atas bahtera sungai Tigris. Berkata sebagian murid kepada Imam Ma’ruf: “Wahai guru, berdoalah kepada Allah supaya mereka binasa dengan tenggelam, supaya kesialan mereka tidak mengenai makhluk lainnya dan kefasikan mereka berhenti (mempengaruhi) orang lain.”

Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Angkatlah tangan kalian.” Ketika mereka semua mengangkatnya, Imam Ma’ruf berdoa: “Tuhanku, sebagaimana Engkau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga hidup mereka di alam abadi kelak.” Maka murid-muridnya terkejut dengan isi doa Imam Ma’ruf al-Karkhi, dan berkata: “Wahai guru, kami tidak memahami diam-diam doa ini.” Imam Ma’ruf al-Karkhi menjawab: “Tunggulah, maka kalian akan memahami diam-diam di balik doa tersebut.”

Kemudian, ketika sekelompok cowok itu melihat Imam Ma’ruf al-Karkhi, seketika mereka menghancurkan rebabnya, membuang khamarnya, menjatuhkan diri menangis, dan menghampiri Imam Ma’ruf al-Karkhi dengan terburu-buru, kemudian mereka semua bertobat. Setelah itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata (pada murid-muridnya): “Lihatlah insiden mengagumkan ini, tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, hal. 346-347)

Kisah di atas harus dihidupi dengan pemahaman menyeluruh, jangan hanya terjebak pada “mungkin” atau “tidak mungkin” efek doa bisa secepat itu. Keterjebakan semacam itu akan menciptakan kita terlewat sisi baik dongeng tersebut. Kita perlu memahaminya dengan terbuka, membuka pandangan selebar-lebarnya untuk menyerap hikmahnya. Lagi pula, Allah telah berjanji bahwa siapa pun yang berdoa kepada-Nya akan dikabulkan, apalagi yang berdoa yaitu orang yang shaleh lagi berilmu. 



Dalam dongeng di atas, Imam Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) menampilkan pengajaran etika dalam doanya. Di ketika murid-muridnya memintanya untuk mendoakan keburukan, Imam Ma’ruf al-Karkhi meresponsnya dengan cara yang tidak diharapkan. Ia berdoa memohon kebaikan bagi para pemabuk itu di dunia dan akhirat. Tentu saja ini tidak dipahami oleh murid-muridnya. Bagaimana mungkin para pendosa bisa bersenang-senang di akhirat? Bukankah hidupnya bergelimang dosa? Begitulah kira-kira yang bergulir di benak mereka.

Namun, jikalau dicermati dengan baik, kalimat doa, “Tuhanku, sebagaimana Engkau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga hidup mereka di alam abadi kelak,” mengandung makna yang sangat dalam. Tidak mungkin seseorang bisa bersenang-senang di alam abadi jikalau mereka andal maksiat dan tidak pernah bederma baik. Artinya, dengan doa tersebut Imam Ma’ruf al-Karkhi sedang memohonkan tobat untuk mereka, tapi dengan cara yang halus dan beradab. Pertanyaannya, kenapa harus dengan cara halus dan beradab?

Jawabannya sederhana, Imam Ma’ruf al-Karkhi melihat kebencian dalam murid-muridnya. Mereka menginginkan kebinasaan para pemabuk itu dengan cara ditenggelamkan, meskipun tujuan mereka baik. Oleh karenanya, Imam Ma’ruf al-Karkhi membacakan doa yang tidak mereka mengerti, bahkan mungkin mereka kritisi. Sisi menariknya, Imam Ma’ruf al-Karkhi melibatkan murid-muridnya dalam proses pengajaran etika melalui doa ini. Dengan demikian, murid-muridnya turut menerima pahala dari tobatnya para pemabuk itu, yang kesannya menciptakan mereka lebih sadar terhadap tanggung jawab seorang muslim kepada muslim lainnya.

Di samping itu, ada juga soal adat dan seni bertutur kepada Allah. Contohnya ketika seseorang mohon kaya, ada yang berdoa, “Tuhan, berikanlah saya kekayaan dua ratus miliar,” tapi ada juga yang berdoa, “Tuhan, berikanlah saya kemampuan berzakat dan bersedekah lima miliar.” Ini sekedar contoh, soal mana yang lebih beradab dan berseni tutur tinggi, silahkan dinilai sendiri, yang terperinci ada nilai lebih yang terkandung di dalamnya.

Karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi menegaskan pada baris terakhir dongeng di atas, “Lihatlah insiden mengagumkan ini, tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” Tujuan yang dimaksud di sini yaitu tujuan dalam arti sebenarnya, bukan tujuan yang diperlukan oleh murid-muridnya, yaitu kebinasaan para pemabuk. Dengan kata lain, Imam Ma’ruf al-Karkhi berusaha menyelarasi kehendak Tuhan untuk membawa para pendosa kembali ke jalan-Nya, bukan membinasakan mereka atas nama-Nya. Sebab, jikalau Imam Ma’ruf al-Karkhi membinasakan mereka sekarang, berarti ia telah merenggut peluang tobat para pemabuk itu.

Penegasan tersebut juga berarti peringatan kepada murid-muridnya, supaya jangan hingga kebencian mereka pada sikap jelek orang lain menciptakan mereka terjangkiti virus ujub dan takabbur. Dua virus yang sangat berbahaya bagi seorang salik yang sedang mencari Tuhan alasannya bisa menutup pintu kerendahan hati (tawadhu’). 

Agar lebih gampang memahaminya, kita perlu merenungkin obrolan Imam Abu Yazid al-Busthami dengan seekor anjing. Katanya:

“Wahai tuan guru, jikalau ujung (jubah)mu tercemar olehku, bisa dibersihkan dengan membasuhnya tujuh kali saja, tapi jikalau engkau tercemar oleh egomu sendiri, tujuh lautan pun tak bisa menbersihkannya.” Imam Abu Yazib berkata: “Engkau memang najis secara zahir, tapi batinmu suci. Sementara saya suci secara zahir, tapi batinku najis.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, hal. 193-194)

Dialog di atas yaitu sebuah gambaran, bahwa hati insan teramat sangat rumit, dipenuhi dengan banyak sekali macam tabiat dan rasa. Tidak menyerupai hewan yang hanya mempunyai naluri sehingga selalu mengerjakan hal yang sama (monoton). Oleh alasannya itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi memperingatkan murid-muridnya supaya mengambil pelajaran dari insiden mengagumkan ini, bahwa ada pilihan lain dalam menghadapi manusia, tidak selalu menghukum yang kesannya merenggut peluang mereka menjadi baik. Jadi, seberapa besarkah peluang kita?

Wallahu A’lam

Load comments