Sabtu, 27 Juli 2019

Kisah Syaikh Ibnu Jauzi Menengahi Perselisihan Sunni Dan Syiah

Tidak gampang untuk menjaga perilaku bagi seorang tokoh masyarakat. Perilakunya selalu menjadi sorotan publik. Tindak tanduknya kerap diikuti oleh banyak orang. Pernyataannya acap kali dijadikan referensi, baik untuk menyanjung atau menyerang. Sekali saja ia berbuat atau berucap yang provokatif, dampaknya akan menyebar luas di tengah masyarakat. Terlebih bagi seorang tokoh yang menjadi pemersatu umat, ia dihentikan mengeluarkan statemen yang sanggup menyudutkan kelompok tertentu. Segala ucapan, perbuatan dan langkahnya harus betul-betul diterima semua kalangan. Inilah yang dicontohkan oleh ulama besar, Syaikh Ibnu al-Jauzi.

Nama lengkapnya yaitu Syaikh Abdurrahman Abu al-Faraj bin Ali bin Muhammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 508 H dan wafat tahun 597 H. Beliau lahir dan wafat di kota Baghdad. Seorang yang sangat alim di masanya terutama di bidang sejarah dan hadits. Di antara karyanya al-Adzkiya’ wa Akhbaruhum, Manaqib Umar bin Abdil Aziz, Tarikh Hukama’ al-Islam, dan lain sebagainya.

Suatu dikala Syaikh Ibnu al-Jauzi tengah memberikan khutbah, kemudian dia didatangi dua rombongan dari kelompok besar, Asya’irah (Sunni) dan Syi’ah. Asya’irah yaitu kelompok yang dalam teologi mengikuti Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari. Syi’ah yaitu kelompok yang sangat fanatik dengan Sayyidina Ali dan para keturunannya.

Dua rombongan tersebut masing-masing membawa pedang layaknya orang yang hendak berperang. Perseteruan itu dipicu salah satunya oleh pandangan yang berbeda dari keduanya, berkaitan dengan sebuah keyakinan wacana insan terbaik sesudah Nabi Muhammad saw. Kelompok Asya’irah meyakini bahwa sepeninggal Baginda Nabi Muhammad saw., yang terbaik yaitu Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Sementara bagi kaum Syi’ah, Sayyidina Ali yang paling utama. Kedua kelompok besar ini tiba untuk meminta pendapat Syaikh Ibnu al-Jauzi.

“Siapa yang lebih utama, lebih akrab dan lebih dicintai Rasulullah saw. wahai Syaikh, Abu Bakar atau Ali?” demikian pertanyaan yang terlontar.

Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Syaikh Ibnu al-Jauzi. Jika dia menjawab Abu Bakar yang lebih utama, niscaya Syi’ah marah. Jika dijawab Ali lebih mulia, kelompok Asya’irah yang tidak terima.



Syaikh Ibnu al-Jauzi sejenak berpikir untuk menemukan jalan keluar dari kondisi dilematis yang menimpanya, semoga jawabannya sanggup diterima kedua kelompok besar yang meminta fatwanya. Setelah berpikir, dia menemukan jawabannya. Dengan cerdik, dia melontarkan balasan yang sangat diplomatis:

اَلْأَفْضَلُ مَنْ كَانَتْ بِنْتُهُ تَحْتَهُ

“Yang paling utama yaitu dia yang putrinya menjadi istrinya.”

Sebuah balasan yang sangat cerdik. Baik Asya’irah maupun Syi’ah masing-masing sanggup menerimanya. Asya’irah memahami statemen Syaikh Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Abu Bakar. Sebab berdasarkan mereka, dlamir (kata ganti) yang ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Abu Bakar, sedangkan dlamir yang ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Nabi Muhammad saw. Makara berdasarkan pemahaman mereka, maksud ucapan Syaikh Ibnu al-Jauzi yaitu “Yang paling utama yaitu dia yang putrinya (Abu Bakar) menjadi istrinya (Nabi).” Seperti diketahui, Aisyah tidak lain yaitu putri Abu Bakar yang menjadi istri Rasulullah.

Demikian pula dengan kelompok Syi’ah, mereka sangat puas dengan balasan Syaikh Ibnu al-Jauzi. Menurut mereka, balasan Syaikh Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka memahami kata ganti (dlamir) pada ucapan Syaikh Ibnu al-Jauzi berbeda dengan yang dipahami Asya’irah. Menurut mereka, dlamir yang ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Nabi, sedangkan dlamir yang ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Sayyidina Ali. Menurut mereka, maksud ucapan Syaikh Ibnu al-Jauzi di atas yaitu “Yang paling utama yaitu dia yang putrinya (Nabi saw) menjadi istrinya (Sayyidina Ali).” Merupakan hal yang maklum, istri Ali yaitu Fathimah, putri Nabi.

Karena balasan Ibnu al-Jauzi yang multi tafsir, dua kelompok besar yang mengadu kepadanya memahami sesuai kecenderungan masing-masing. Letak perbedaannya ada pada marji’ dlamir yang ada pada kata “bintuhu” dan “tahtahu”.

Demikianlah selayaknya seorang publik figur bersikap, fatwanya sanggup diterima semua kalangan tanpa menjadikan perpecahan di tengah-tengah umat.

Disarikan dari kitab al-Fawaid al-Mukhtarah karya Habib Ali bin Hasan Baharun, hal. 89

Wallahu A’lam

Load comments