Selasa, 09 April 2019

Kisah Seseorang Mencela Dan Mencaci-Maki Keturunan Nabi

Dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fî Nashihah al-Muluk, Imam al-Ghazali memasukkan kisah Sayyidina Ali Zainal Abidin yang dicaci-maki oleh seseorang. Berikut kisahnya:

Sayyidina Zainal Abidin Ali bin Husain radliyallahu ‘anhu keluar (rumah) menuju masjid. Tiba-tiba seseorang mencaci-makinya. Para pengawalnya hendak memukul dan menyakiti orang tersebut. Sayyidina Ali Zainal Abidin melarangnya dan berkata: “Tahanlah tangan kalian darinya!”

Kemudian ia berpaling kepada orang yang mencacinya itu dan berkata: “Wahai tuan, saya mempunyai keburukan lebih banyak dari yang tuan katakan. Apa yang tuan tidak ketahui (tentang keburukanku) lebih banyak dari yang tuan ketahui. Jika tuan membutuhkannya, saya akan menceritakan (semua)nya pada tuan.” Orang itu pun menjadi malu.

Lalu Sayyidina Ali Zainal Abidin merogoh kantong bajunya dan memberinya uang seribu dirham. Orang itu pun berlalu sambil berkata: “Aku bersaksi bahwa cowok ini (Sayyidina Ali Zainal Abidin) ialah keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, hal. 25)

Mencela ialah perbuatan yang dihentikan agama, apalagi bila celaan itu tidak sesuai dengan kenyataan, maka tingkatannya sanggup naik menjadi fitnah. Rasulullah bersabda:

“Tidaklah seseorang yang melemparkan tuduhan kefasikan pada orang lain, dan tidaklah pula seseorang yang melemparkan (tuduhan) kekufuran melainkan (tuduhan itu) akan kembali kepadanya, bila saudaranya tidak menyerupai itu.” (HR. Bukhari)

Di zaman bertabur fitnah ini, pencegahan dan respon sama pentingnya. Pencegahan dalam arti mengamalkan sunnah Rasul yang melarang mencela dan mencaci, dan di waktu yang sama menampilkan respon yang penuh budpekerti menyerupai yang ditunjukkan Sayyidina Ali Zainal Abidin.

Untuk sanggup merespon fitnah dan celaan dengan bijak, seseorang harus menumbuhkan perilaku tawadhu' dalam hatinya. Kenapa ini penting, silahkan perhatikan ucapan Imam Abu ‘Utsman al-Hirri:

“Akar tawadhu' ada tiga: (1) mengingatkan seorang hamba akan kebodohannya, (2) mengakui kekurangannya di (setiap) keadaan, dan (3) jangan memperhatikan (menilai) kekurangan orang lain.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i [836 H], hal. 480)

Ucapan Imam al-Hirri perlu kita renungi dalam-dalam, bahwa insan ialah makhluk terbatas, bukan makhluk yang “segala tahu” atau “maha tahu”. Sepintar-pintarnya manusia, bila memakai ukuran ruang, lebih banyak ruang kebodohannya. Sebaik-baiknya manusia, lebih banyak kebaikan yang belum diamalkannya, dan sejahat-jahatnya manusia, ia masih mempunyai ruang waktu yang cukup luas untuk memperbaikinya.

Karena itu, kita harus menahan diri. Jangan menuduh sembarangan, apalagi bila tuduhan itu berkaitan dengan karakter-karakter negatif yang ada dalam agama, menyerupai munafik, fasik, zindik, kafir dan lain sebagainya. Selain tuduhan semacam itu diharamkan agama, juga sanggup menyebabkan ketidak-nyamanan sosial. Lagipula, siapa yang sanggup menjamin bila orang yang kita fasikkan, kita munafikkan dan kita kafirkan tidak akan berubah hingga selesai hayatnya. Siapa kita yang berani memastikkan kezindikan, kemunafikan atau kekafiran seseorang. Serahkan itu kepada Allah saja.



Kembali ke kisah di atas, Imam Ali Zainal Abidin seolah-olah menganggap cacian sebagai kasih sayang Tuhan yang mengingatkan dosa-dosanya. Bagi orang yang selalu ingat akan dosa-dosanya, ia tak akan gampang terhina oleh cacian dan makian. Cacian ialah cambuk pengingat bahwa, “aku lebih jelek dari itu,” dan “dosaku lebih banyak dari itu.” Maka, seberapa garang dan bejatnya sebuah cacian, tak akan berarti apa-apa sebab ia merasa jauh lebih jelek dari itu. Bahkan, Imam Ali Zainal Abidin menawari pencacinya semua warta perihal keburukannya.

Sebagai gantinya, Imam Ali Zainal Abidin berterima kasih pada pencacinya dikarenakan telah diingatkan kembali. Seumpama ia hendak berujar, “Cacian yang mengingatkanku atas segala keburukan lebih kunikmati daripada kebanggaan yang melalaikanku.” Karenanya ia tanpa ragu memberi pencacinya uang cukup banyak, sebab caciannya membangkitkan penyesalannya kembali atas dosa-dosanya.

Sisi lain kisah di atas ialah pola adab yang baik. Meski dicaci sedemikian rupa, Imam Ali Zainal Abidin membalasnya dengan kebaikan. Ia melarang pengikutnya menyakiti orang tersebut dan menghampirinya dengan penuh keramah-tamahan. Sikapnya ini menciptakan sang pencaci malu. Belum hilang rasa malunya, Imam Ali Zainal Abidin memberinya uang seribu dirham. Akhlak mulia inilah yang membuatnya bersaksi bahwa ia benar-benar keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. 

Jadi, sudilah kiranya kita berhenti mencaci dan menampilkan budpekerti yang baik saat dicaci-maki. Pertanyaannya, sudahkah?

Wallahu A’lam

Load comments