Selasa, 09 April 2019

Kisah Perdebatan Antara Imam Syafi’I Dengan Imam Ahmad

Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar merekam diskusi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal wacana kedudukan orang yang meninggalkan shalat. Diceritakan:

Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan orang yang meninggalkan shalat satu kali saja dengan sengaja, ia dihukumi kafir. Dasarnya yaitu zahir teks hadits: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, ia telah kafir.”

Imam Syafi’i berkata kepadanya: “Jika seseorang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dihukumi kafir ibarat madzhabmu (pendapatmu), bagaimana cara orang tersebut kembali pada Islam?”

Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Melakukan shalat.”

Imam Syafi’i berkata lagi: “Bagaimana mungkin shalat orang kafir dipandang sah?!”

Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal diam, tidak menyampaikan apa-apa lagi. (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), hal. 272).

Perbedaan pendapat yaitu hal yang lumrah dalam dunia akademik. Jika tidak ada perbedaan pendapat, khazanah keilmuan kita tidak akan sekaya ini. Kitab-kitab keagamaan akan terlihat ramping. Tidak ada kitab yang berjilid-jilid dan kaya informasi. Dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat yaitu rahmat, bentuk kasih sayang Tuhan yang Maha Berpengetahuan kepada umat manusia. Tinggal bagaimana kita melestarikannya.

Kisah di atas mengajarkan kita pentingnya untuk mengetahui bagaimana proses aturan fiqih terjadi. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim yang mengatakan, “Mandi hari Jum’at wajib bagi setiap muslim yang telah baligh.” 

Zahirnya terang menyampaikan kewajiban mandi Jumat, tapi dominan ulama menghukuminya sunnah, meski ada juga yang menghukuminya wajib ibarat Madzhab Dzahiri. Kenapa hal ini sanggup terjadi? Karena ulama tidak gegabah mengambil kesimpulan tanpa melaksanakan telaah mendalam. Dalam kasus mandi Jumat, para ulama harus mempertimbangkan zahir hadits lainnya.

“Barangsiapa yang berwudlu di hari Jum’at maka cukup baginya dan baik. Barangsiapa yang mandi Jum’at, maka mandi itu lebih utama.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)

Atas dasar hadits di atas, dominan ulama menyampaikan bahwa mandi Jum’at hukumnya sunnah, bukan wajib. Begitupun dengan diskusi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal wacana kedudukan orang yang meninggalkan shalat. 

Imam Syafi’i tentunya tahu dasar argumentasi Imam Ahmad bin Hanbal. Tapi Ia pun tidak sanggup mengabaikan hadits wacana larangan mudahnya mengkafirkan orang (HR. Imam Muslim): “Barang siapa yang mendakwa (menuduh) seseorang dengan kekufuran, atau menyebutnya musuh Allah, sedangkan ia tidak ibarat itu, hal tersebut akan kembali pada yang mengucapkannya.”



Dalam Madzhab Syafi’i, orang yang meninggalkan shalat sanggup dikatakan kafir dikala ia meninggalkannya alasannya mengingkari kewajiban shalat (jahidan li wujubihi). Akan tetapi, bila meninggalkannya alasannya malas (kaslan) dan menyepelekan (tahâwun), orang tersebut tidak dihukumi kafir, tetapi berdosa. (Fariduddin Attar, hal. 272).

Karena itu sangat penting untuk memahami keragaman aturan fikih untuk memperluas pengetahuan kita. Orang yang berpengetahuan luas, biasanya tidak akan mempersulit tapi mempermudah, ibarat kisah ulama-ulama kita di masa lalu. Memberikan aturan yang paling gampang untuk masyarakat umum, dan memperlihatkan aturan yang paling berat untuk dirinya sendiri.

Kisah di atas mengajarkan kita beberapa hal. Pertama, jangan gampang menyalahkan amalan orang lain, siapa tahu ia mempunyai dasar aturan dalam amalannya itu. Kedua, pentingnya mempelajari prosedur pengambilan aturan fiqih (ushul fiqih), semoga pemahaman kita terhadap zahir teks lebih erat dengan pemahaman yang benar.

Ketiga, pentingnya mengetahui keragaman pendapat ulama. Ketika perbedaan pendapatnya masih dalam wilayah furu’iyyah, tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Setiap pendapat mempunyai dasarnya sendiri-sendiri. 

Tergantung pada kekuatan budi kita. Kita diberi kebebasan untuk menentukan mana pendapat yang lebih kuat, meski belum tentu pendapat yang berdasarkan kita lebih kuat, lebih benar dari pendapat lainnya.

Keempat, pintu taubat selalu terbuka. Imam Syafi’i enggan menyebut orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir. Ia memandang semua insan mempunyai kesempatan yang sama untuk kembali kepada Allah. Pendekatannya tidak menakuti orang-orang yang terlanjur bermaksiat, tapi merangkul mereka.

Kelima, mencari kebenaran, bukan kemenangan. Pada simpulan diskusi, Imam Ahmad bin Hanbal diam. Artinya, Ia membenarkan pendapat Imam Syafi’i. Ia tidak ngotot mempertahankan pendapatnya, tapi menerimanya dengan tidak melaksanakan bantahan. Karena yang mereka cari dari debat atau diskusi tersebu bukanlah kemenangan atau kemewahan intelektual, melainkan kebenaran.

Pertanyaannya, seberapa banyak kita luangkan waktu kita untuk berguru dengan guru yang benar-benar mumpuni? Jika belum, kenapa kita gampang mengomentari wilayah di luar keahlian kita, bahkan menyalahkannya? Semoga kita semua terhindar dari hal tersebut. Amin.

Wallahu A’lam

Load comments