Minggu, 14 April 2019

Kisah Pentingnya Berucap “Insya Allah” Dalam Setiap Tujuan

Dalam kitab Akbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, Imam Abu al-Farj Ibnu Jauziy (w. 597 H) memasukkan kisah menarik ihwal orang yang sok yakin dengan keadaan. Berikut ceritanya:

Seorang pria keluar menuju pasar untuk membeli keledai. (Dalam perjalanan) ia bertemu dengan temannya, dan ditanya (hendak kemana?). Ia menjawab: “Hendak ke pasar untuk membeli keledai.” Temannya berkata: “Katakan Insya Allah.”

Laki-laki itu menjawab: “Tidak perlu lagi (mengatakan) Insya Allah dalam keadaan menyerupai ini. Uang sudah di saku dan keledai ada di pasar.” (Sesampainya di pasar) ketika sedang mencari keledai, uangnya dicuri. Ia pun pulang dengan wajah murung.

(Dalam perjalanan pulang), ia bertemu lagi dengan temannya, ia bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu (murung)?” Laki-laki itu menjawab: “Insya Allah uangku dicuri.” Temannya berkata: “Tidak perlu lagi (mengatakan) Insya Allah dalam keadaan menyerupai ini.” (Imam Abu al-Farj Ibnu Jauziy, Akbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, hal. 161)

Kisah di atas ini unik, seorang pria enggan mengucapkan “Insya Allah” alasannya yakni berdasarkan pertimbangannya, apa yang diharapkannya pasti terjadi. Syarat-syaratnya sudah mencukupi; uang dan keledai, tapi kenyataan berbicara lain. Kelengkapan persyaratan yang dimilikinya tidak menjamin ia sanggup mendapat apa yang ia mau. Ada sisi lain yang luput dari pertimbangannya; pencurian yang membuatnya gagal mendapat keledai. Uniknya lagi, pria itu malah mengucapkan “Insya Allah” sesudah uangnya tercuri, dengan wajah murung. Ia menyandingkan ucapan “Insya Allah” dengan petaka yang dialaminya. Menarik bukan? Mari kita telusuri pembahasannya.

Ucapan “Insya Allah”, makna standarnya berarti “apabila Allah menghendaki.” Mengucapkannya termasuk ibadah. Allah swt. berfirman:

“Jangan sekali-kali kamu berkata ihwal sesuatu: ‘sungguh saya akan melakukannya besok.’ Kecuali (mengucapkan: Insya Allah) apabila Allah menghendaki, dan ingatlah Tuhanmu di ketika kamu lupa serta ucapkan: ‘Semoga Tuhanku menunjukiku pada jalan terdekat menuju hidayah.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)

Dalam Tafsîr al-Thabari, lafal “illa an yasya’alllah...” dipandang sebagai ta’dib minallah (pendidikan dan aturan dari Allah) yang disampaikan pada nabi-Nya biar memegang teguh bahwa segala insiden hanya mungkin terjadi alasannya yakni “masyi’atilllah—kehendak Allah.” (Imam al-Thabari, Tafsir al-Thabari, juz 17, hal. 644). 

Kesalahannya yakni banyak orang yang memahami makna “kehendak Allah” atau “izin Allah” tidak dengan perilaku positif. Ketika segala sesuatu tidak berjalan baik, kita cenderung menyalahkan Tuhan, meski dengan bunyi kecil yang malu-malu. Padahal, kalau dipahami secara mendalam, “kehendak Allah” tidak mungkin buruk, yang dikehendaki-Nya selalu kebaikan bagi hamba-Nya. Ini murni soal persangkaan kita kepada-Nya. Jika persangkaan kita baik, kita akan dipenuhi energi positif untuk terus maju; kalau persangkaan kita buruk, kita akan membisu menggerutu tanpa gerak maju.

Kembali ke soal “Insya Allah” Dari wilayah pelakunya, pengucapan “Insya Allah” sanggup dipahami dalam beberapa tingkatan. Pertama, orang yang tidak menganggap penting pengucapannya menyerupai pola di atas. Kedua, orang yang mengucapkan “Insya Allah” alasannya yakni kebiasaan, bukan alasannya yakni benar-benar terselami oleh maknanya. Ketiga, orang yang mengucapkan “Insya Allah” dan menghayati betul makna terdalamnya.

Untuk yang pertama, kita tidak perlu membahasnya alasannya yakni sudah ada misalnya di atas. Yang kedua, kita tidak sanggup pungkiri bahwa pengucapan “Insya Allah” sudah menjadi kebiasaan umum. Di satu sisi bagus, di sisi lain menciptakan maknanya tereduksi. Sebab, ada dua wajah yang saling berlawanan ketika pengucapan “Insya Allah” dilakukan tanpa kesadaran makna. Wajah positifnya adalah, menawarkan bahwa kita orang yang beriman, meski secara tanpa sadar ketika mengucapkannya. Wajah negatifnya adalah, ketika “Insya Allah” dipakai untuk berjanji, tapi tidak ditepati. Misalnya, “besok saya tunggu di lapangan ya, ada hal penting yang ingin kubicarakan.” Kemudian dijawab, “Insya Allah, jam tiga ya.” Nyatanya tidak datang. Artinya ucapan “Insya Allah” hanya menjadi istilah bahasa yang lumrah sekaligus meninggalkan kesan bahwa Tuhanlah yang menghendakinya tidak sempurna janji. Dengan kata lain, kesakralannya turun hingga pengucapnya melupakan nilai agama yang terkandung di dalamnya.



Ketiga, bagi orang-orang dalam kategori ini mengucapkan “Insya Allah” sanggup memberi mereka tiga kekuatan sekaligus; pertama, kekuatan bergerak maju, kedua, kekuatan berendah hati, dan ketiga, kekuatan bertanggung jawab. 

Penjelasannya begini. Maksud dari kekuatan bergerak maju yakni “persangkaan baik kepada Allah”. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kehendak Allah untuk hambaNya pasti baik, tidak mungkin Allah menghendaki keburukan untuk hamba-hambaNya. Dengan mengucapkan “Insya Allah”, kita telah menanamkan prasangka baik kepada Allah, sehingga menghasilkan kekuatan bergerak maju yang penuh optimisme dan positif.

Berikutnya kekuatan berendah hati. Maksudnya, dengan mengucapkan “Insya Allah” kita sedang berupaya meminimalisasi keangkuhan kita, bahwa semua yang kita raih murni hasil perjuangan kita sendiri. Bagi orang yang berusaha mengamalkannya, insyaallah akan terhindar dari perasaan sombong. Bahkan dalam hal beribadah sekalipun, misalnya kerelaan Nabi Ismail di ketika hendak disembelih ayahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, pasti kamu akan dapati aku, insyaallah, termasuk dalam orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Nabi Ismail mengucapkan “Insya Allah” alasannya yakni ia tahu bahwa kesabarannya yakni anugerah dari Allah, bukan murni dari dirinya sendir. Sebab, kalau ada orang yang menyatakan dirinya seorang penyabar tapi menafikan tugas Tuhan di dalamnya, baik disadari atau tidak, ia telah mendekati kesombongan.

Yang terakhir yakni kekuatan bertanggung jawab. Maksudnya yakni besar lengan berkuasa memegang amanah alasannya yakni ketakwaan kepada Allah. Sebab begini, ucapan “Insya Allah” bagi orang-orang yang berusaha mendalami maknanya yakni amanah. Bagaimana tidak, kita berjanji memakai nama Tuhan (berucap insyaallah), tapi tidak kita tepati, bukankah itu keterlaluan. Nama Tuhan yang Maha Tinggi kita gunakan untuk berbohong, terlepas dari sadar atau tidak, menyerupai yang diuraikan sebelumnya.

Oleh alasannya yakni itu, kita harus mulai mendekati “Insya Allah” dengan sudut pandang baru. Kebiasaan mengucapkannya harus dilestarikan, tapi didampingi dengan peningkatan kesadaran akan nilainya, terutama tiga kekuatan tadi. Sulit sih, tapi tidak mustahil. Ya, namanya juga refleksi. Tujuannya untuk mengusut diri dengan pertanyaan, “kita menyerupai itu apa tidak sih?”

Wallahu A’lam

Load comments