Selasa, 09 April 2019

Kisah Obrolan Imam Ahmad Dengan Perempuan Penenun Kain

Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi (w. 597 H) mencatat sebuah riwayat perjumpaan Imam Ahmad bin Hanbal dengan seorang perempuan pekerja tenun. Berikut riwayatnya:

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Suatu hari saya bersama ayahku di rumah, kemudian ada seseorang yang mengetuk pintu.” Ayahku berkata: “Keluarlah dan lihat siapa yang ada di pintu.” Aku keluar, ternyata (yang mengetuk pintu) yaitu seorang wanita. Ia berkata kepadaku: “Mintakan izin biar saya sanggup menemui Abu Abdullah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal).” Maka saya memintakan izin kepadanya, dan ia mengizinkannya.

Wanita itu masuk dan mengucapkan salam kepada ayahku, kemudian ia bertanya: “Wahai Abu Abdullah, saya seorang perempuan yang sering menenun di malam hari, seringkali lampunya padam, maka saya menenun di bawah cahaya rembulan. Apakah saya harus menjelaskan (mana yang hasil) tenunan dengan cahaya rembulan dan (mana yang hasil) tenunan dengan cahaya lampu?”

Ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) berkata kepadanya: “Jika menurutmu ada perbedaan di antara keduanya, engkau harus menjelaskannya.” Wanita itu bertanya lagi: “Wahai Abu Abdullah, apakah rengekan orang sakit termasuk bentuk keluhan (yang dilarang)?” Ayahku menjawab: “Aku harap tidak (bukan keluhan yang dilarang), tapi hanya pengaduan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

Ketika perempuan itu sudah pulang, ayahku berkata kepadaku: “Anakku, saya tidak pernah mendengar seorang pun bertanya menyerupai ini. Ikutilah perempuan tadi, lihatlah ke mana ia masuk.” Maka saya mengikutinya, kemudian ia masuk ke rumah Bisyri bin al-Harits. Ternyata ia saudara perempuannya. Setelah hingga di rumah, kuceritakan hal itu kepada ayahku. Ia berkata: “Rasanya hampir tidak mungkin ada seorang perempuan tampaknya kecuali ia saudara perempuan Bisyri (al-Hafi).” (Imam Ibnu Jauzi, Shifah al-Shafwah, juz 2, hal. 525)

Kita sering mendengar kata “hati-hati”. Kita sering diminta berhati-hati oleh orang-orang terdekat kita. Pertanyaannya, apakah kita pernah sekali saja melakukannya? Atau mengingat undangan itu, minimal sekali saja? Jangan-jangan anggukan kita sekadar basa-basi saja, meski kemungkinan besar pemintanya pun sama. Lalu kaitannya apa dengan kisah di atas?

Begini, bila hati-hati dalam konteks keseharian saja kita lalai, bagaimana sanggup kita memahami kehati-hatian dalam konteks agama sebagai sesuatu yang harus dicapai, bukan tiba dengan sendirinya. Bahasa agamanya yaitu wara’. Imam Ibrahim bin Adham (w. 165 H) mendefinisikan wara’ sebagai berikut:

“Meninggalkan segala sesuatu yang syubhat (meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak mempunyai kegunaan untukmu.” (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, juz 1, hal. 233)

Wanita tukang tenun dalam kisah di atas takut hasil tenunannya masuk ke dalam wilayah syubhat. Sebab, dalam proses penenunannya ia memanfaatkan dua cahaya berbeda, yang satu berbayar dan satunya gratis. Artinya ada perbedaan modal dalam proses produksinya. Logika hukumnya begini: bila persentasi zakat pertanian dibedakan berdasarkan sumber pengairannya, maka hasil tenunnya pun mempunyai konsekuensi aturan yang sama. 

Karena itu, ia menanyakan kasus ini kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan dijawab dengan sangat ringkas: “Jika menurutmu ada perbedaan di antara keduanya, kamu harus menjelaskannya.” Imam Ahmad menggunakan kata “’indaki—menurutmu” dalam jawabannya, artinya ia tahu bahwa perempuan di depannya ini bukan orang sembarangan. Bisa jadi perempuan itu sudah tahu jawabannya, ia bertanya hanya untuk menguatkan pendapatnya.

Buktinya, Imam Ahmad pribadi menyuruh anaknya untuk mengikuti perempuan tersebut. Ia terkejut alasannya belum pernah mendengar pertanyaan semacam itu sepanjang hidupnya. Biasanya orang akan bertanya kepadanya ihwal apa yang membatalkan shalat, apa syarat-syarat tayamum dan lain sebagainya. Tapi untuk pertama kalinya ada seseorang yang bertanya di luar perkiraannya. Ternyata, perempuan itu yaitu saudara perempuan Imam Bisyri al-Hafi (w. 227 H). Disebut al-Hafi alasannya ia tak pernah menggunakan sandal. Imam Ahmad sangat menghormati Imam Bisyri. Ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya ihwal wara’, ia tidak berani menjawabnya dan menyuruh orang tersebut bertanya kepada Imam Bisyri al-Hafi.

Setelah tahu siapa perempuan itu, Imam Ahmad berujar, “Rasanya hampir tidak mungkin ada seorang perempuan tampaknya kecuali ia saudara perempuan Bisyri.” Menurut Imam Ibnu Jauzi, perempuan itu berjulukan Mukhah. Dalam riwayat Ghailan al-Qashaidi, Imam Bisyri bin al-Harits al-Hafi berkata:

“Aku berguru wara’ dari saudara perempuanku, ia berusaha (berjuang) untuk tidak memakan apa-apa yang dibentuk oleh makhluk.” (Imam Ibnu Jauzi, Shifah al-Shafwah, juz 2, hal. 524)



Kehati-hatian Sayyidah Mukhah dalam menghindari syubhat membuatnya berusaha untuk memakan apa-apa yang tidak dibentuk oleh makhluk. Hal ini memang sukar dilakukan, dan sanggup dikatakan mustahil. Karena itu kata yang digunakan yaitu “tajtahidu—berusaha/berjuang”. Jadi, bukan tidak memakannya sama sekali, tapi berusaha memakan yang terperinci berkah dan kehalalannya. Dengan demikian, saat ia temui perbedaan proses tenun yang menggunakan dua sumber cahaya berbeda tadi, ia melaksanakan pemilahan. Inilah poin pentingnya, bukan soal “mungkin” atau “tidak mungkin” berusaha tidak memakan buatan makhluk.

Sederhananya begini, keteguhan Sayyidah Mukhah menggenggam kewara’annya, yaitu berusaha untuk tidak memakan apa-apa yang dibentuk oleh makhluk, meluaskan cakrawala pemikirannya. Bagi orang biasa menyerupai kita, pertanyaan yang diajukan Sayyidah Mukhah pada Imam Ahmad bin Hanbal tidak akan melintas sama sekali, apalagi terpikirkan. Karena tangan kita masih terbuka, belum berusaha menggenggam sesuatu. Jadi, kita jangan dulu bicara jauh soal genggaman, alasannya apa yang hendak digenggam saja kita masih meraba-raba. Dengan kata lain, kita masih harus berguru banyak sebelum mengepalkan tangan kita untuk menggenggam sesuatu.

Sebelum diakhiri, kita perlu merenungkan kalimat ini, “Terkadang apa yang kita pandang tampak membatasi, bahwasanya membebaskan, dan apa yang kita pandang tampak membebaskan, bahwasanya membatasi.” Memang, praktik wara’ yang dilakukan Sayyidah Mukhah secara kasat mata tampak membatasi dan mustahil, tapi, di sisi lain, itulah yang meluaskan cakrawala kecerdasannya. Artinya, bila kita hendak mencari kebaikan, kita akan menemukannya. Karena Tuhan membuat kebaikan di mana-mana, di aneka macam benda mati dan benda hidup, hanya bagaimana cara kita memandangnya.

Wallahu A’lam

Load comments