Selasa, 09 April 2019

Kisah Ketawadhu’An Imam Ahmad Bin Hanbal

Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Abu al-Farj Ibnu Jauzi (510-597 H) mengisahkan penolakan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahu Allah untuk menjawab pertanyaan seputar wara’. Diceritakan:

Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdullah bin Khalid, ia berkata: “Imam Ahmad bin Hanbal ditanya wacana duduk kasus wara’.”

Ia menjawab: “Aku memohon ampun kepada Allah. Tidak halal bagiku untuk berbicara wacana duduk kasus wara’, alasannya saya memakan hasil bumi Baghdad. Tapi, jikalau engkau hendak mengetahuinya, Bisyr bin Harits yaitu orang yang pantas menjawab pertanyaanmu. Dia tidak memakan hasil bumi Baghdad dan tidak memakan masakan yang tidak jelas. Dia pantas untuk berbicara wacana duduk kasus wara’.” (Jamaluddin Abu al-Farj bin Jauzi, Shifat al-Shafwah, hal. 429).

Ulama-ulama kita di zaman dulu sangat berhati-hati dalam menjawab pertanyaan. Mereka tidak akan menjawab pertanyaan dengan sembarangan. Apalagi jikalau pertanyaannya seputar praktik ibadah menyerupai zuhud, wara, tawakkal dan lain sebagainya. Imam Ahman bin Hanbal, dalam kisah di atas, merasa tidak mempunyai kualifikasi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan alasan, ia masih memakan hasil panen Baghdad, yang cara pengolahan, pendistribusian dan penjualannya tidak diketahui secara jelas:  apakah dalam salah satu prosesnya terdapat perbuatan yang tidak boleh atau tidak.

Satu-satunya orang yang ia yakini kewaraannya yaitu Bisyri bin Harits al-Hafi (767-850 M). Disebut al-Hafi alasannya Imam Bisyri tidak pernah mengenakan sandal, selalu bertelanjang kaki kemana pun ia pergi.Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah melihat Imam Bisyri memakan masakan yang tidak terperinci asal-usulnya. Hidupnya dipasrahkan semuanya kepada Allah dan melayani orang-orang di sekitarnya.Ia hanya makan untuk memenuhi hak badan atas dirinya. Sekali waktu Imam Bisyri pernah mengatakan:

“Sesungguhnya lapar itu sanggup menjernihkan hati dan mendatangkan pengetahuan yang halus.” (Jamaluddin Abu al-Farj ibnu Jauzi, hal. 429).

Untuk memahami perkataan Imam Bisyri di atas, kita harus memakai sudut pandang pengetahuan. Lapar akan dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tapi, yang paling kuat dalam pemaknaannya yaitu latar belakang pengetahuannya. Orang yang terpelajar sanggup menyebabkan lapar sebagai motivasi untuk sukses. Orang yang tidak berilmukurang bisa mendapat manfaat dari kelaparannya, bahkan tidak sedikit yang menentukan mencuri untuk mengatasi kelaparannya.

Lain lagi dengan orang terpelajar yang terus-menerus melatih hatinya semoga higienis dari cela, menyerupai Imam Bisyri al-Hafi. Setiap kali lapar, ia mendapat pengetahuan baru. Bagi Imam Bisyri, kelaparan yaitu guru. Darinya, ia mencar ilmu bersabar, bertawakkal, bersyukur dan lain sebagainya. Gambarannya menyerupai ini,tanpa lapar, mampukah kita mencicipi kenikmatan kenyang; tanpa lapar, akankah kesabaran kita terlatih secara alami, dan seterusnya. Orang yang bisa bertafakkur di dikala lapar, dan mengambil pesan yang tersirat darinya, tentulah bukan orang sembarangan.

Imam Ahmad bin Hanbal tahu betul akan kewaraan Imam Bisyri. Karena itu,Ia berpendapatorang yang pantas berbicara wacana wara’ yaitu Bisyri al-Hafi, bukan dirinya. Hal ini yang telah hilang dalam kultur beragama kita. Sekarang ini, semua orang berusaha menjawab pertanyaan, tanpa memandang kelayakan diri. Akibatnya, banyak anutan keagamaan yang tidak sesuai dengan aturan aslinya.Hal ini diperparah oleh penggunaan fatwa-fatwa itu untuk mengadili pendapat lainnya, yang bisa jadi pendapat lain itu lebih benar. Melihat fenomena ini, kita harus kembali pada jalan yang dilalui ulama-ulama kita di masa lalu, “falyaqul khairan aw li yasmut—ucapankanlah kebaikan, jikalau tidak lebih baik diam.”

Tindakan menarik juga pernah dilakukan Imam Hasan al-Bashri (642-728 M). Suatu ketika sekelompok budak di Kufah menghampirinya dan meminta Imam Hasan al-Bashri untuk memberi khutbah wacana keutamaan membebaskan budak.Imam Hasan al-Bashri mengiyakan dan berjanji akan menyampaikannya di depan jamaah. Di Jum’at pertama, para budak menunggu di masjid untuk mendengarkan khutbah Imam Hasan al-Bashri, tapi ia tidak mengucapkan sedikit pun wacana keutamaan membebaskan budak.

“Mungkin Imam Hasan lupa,” kata budak itu satu sama lainnya.



Di Jum’at kedua, Imam Hasan al-Bashri tetap tidak mengungkit wacana keutamaan membebaskan budak. Begitu seterusnya sampai Jum’at keempat. Para budak sangat kecewa dengan Hasan al-Bashri. Mereka memandang Imam Hasan sebagai pembohong dan orang yang tidak menepati janji. Di Jum’at kelima, Imam Hasan al-Bashri menyampaikan bahwa salah satu misi Islam yaitu membebaskan perbudakan, baik yang berasal dari tawanan perang maupun dari hasil jual beli. Orang-orang yang mendengar khutbahnya, ketika tamat shalat Jum’at, mereka berlomba-lomba membebaskan budaknya. Hari itu bisa dikatakan sebagai pembebasan budak masal di Kufah.

Para budak yang telah kecewa, terkejut dengan khutbah Imam Hasan al-Bashri. Mereka berduyun-duyun mendatangi Imam Hasan al-Bashri dan bertanya,“Kenapa gres sekarang, tidak dari awal saja?” Imam Hasan al-Bashri menjawab:

“Ketika kalian mengatakannya padaku (aku telah setuju), tapi saya tidak mempunyai budak. Aku tidak ingin memerintahkan kebaikan pada masyarakat atas sesuatu yang belum saya lakukan. Karena saya miskin, saya harus mengumpulkan harta untuk membeli budak. Lalu kubiarkan ia melayaniku beberapa hari untuk mencicipi sejauh mana kebutuhanku padanya (memiliki budak). Ketika saya yakin dalam hatiku betapa besar saya membutuhkannya, saya membebaskannya dan memberikan khutbah ini.” (Ahmad Muhammad ‘Athiyat, al-Iqna’, hal. 22).

Fatwa atau hikmah agama tentu akan diterima dengan berbeda oleh pendengarnya jikalau yang memberi anutan dan hikmah benar-benar telah melakukannya, menyerupai kasus Imam Hasan al-Bashri di atas. Setelah mendengar ceramahnya, orang-orang berlomba-lomba untuk membebaskan budak.Itulah cara ulama kita di masa lalu. Mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan anutan keagamaan, meskipun pengetahuan agama mereka sangat tinggi dan diakui oleh banyak ulama yang semasa atau setelahnya. 

Semoga kita bisa melestarikan tradisi mereka dan terlepas dari aneka macam fitnah zaman. Allahumma sallimna min fitnah hadzihiz zaman. Amin.

Wallahu A’lam

Load comments