Kamis, 19 September 2019

Kisah Imam Shalat Diprotes Oleh Makmumnya

Dalam kitab Akbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, Imam Abu al-Farj Ibnu Jauziy (w. 597 H) mencatat riwayat seorang imam shalat yang membaca surah panjang ketika menjadi imam:

Dari Mundil bin Ali berkata: “Suatu hari al-A’masy keluar dari rumahnya di ketika Subuh. Ia melintasi Masjid Bani Asad dan (ketika itu) muadzin sedang mengumandangkan adzan shalat. Ia masuk (ke masjid) untuk ikut shalat. Di rakaat pertama, imam shalat membukanya dengan (membaca) surah Al-Baqarah, dan di rakaat kedua (membaca) surah Ali Imran.”

Selesai shalat, al-A’masy berkata pada imam itu: “Tidakkah engkau takut kepada Allah? Tidakkah engkau mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Barangsiapa yang menjadi imam (shalat), hendaknya ia memperingan, alasannya di belakangnya ada orang yang sudah tua, orang yang lemah dan orang yang mempunyai keperluan'.”

Imam shalat itu menjawab: “Allah ‘azza wa jalla berfirman (QS. Al-Baqarah: 45): ‘Sungguh yang demikian ini sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” al-A’masy berkata: “(Justru itu) saya yaitu utusan orang-orang khusyu’ (untuk memberitahu)mu bahwa (cara shalat)mu sungguh memberatkan.” (Imam Abu al-Farj Ibnu Jauziy, Akbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, hal. 119)

Sebelum membahas ke sana-kemari, kita perlu tahu bahwa “mudah” tidak sama dengan “menyepelekan”. Praktis berarti mencari pembiasaan terbaik dengan keadaan diri, sedangkan menyepelekan cenderung menganggap remeh. 

Cerita di atas yaitu kisah perihal pentingnya memahami keadaan orang lain dalam menerapkan agama, khususnya bagi para pemukanya. Karena itu, Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy (61-147 H), menegur imam shalat Subuh yang membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran di masing-masing rakaatnya. Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan, “Barangsiapa yang menjadi imam (shalat), hendaknya ia memperingan, alasannya di belakangnya ada orang yang sudah tua, orang yang lemah dan orang yang mempunyai keperluan.”

Bahkan ada hadits yang lebih keras dari itu, hingga Sayyidina Abu Mas’ud al-Anshari mendeskripsikan kemarahan Rasulullah dengan ungkapan: “Tidak pernah kulihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam murka dalam memberi pesan tersirat yang lebih mahir dari marahnya ia hari itu” (HR. Muslim). Tidak hanya itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut imam semacam itu sebagai orang yang menciptakan insan lari dari agama (munaffirin). 

Mendengar hadits itu, sang imam menjawab dengan ayat Al-Qur’an yang pada dasarnya hal itu gampang bagi orang-orang yang khusyu’. Tapi direspon dengan cerdas oleh Imam al-A’masy bahwa ia yaitu utusan orang-orang khusyu’. Dengan kata lain, argumen orang khusyu’ yang dipakai imam shalat itu, dipatahkan dengan argumen bahwa orang-orang khusyu’ juga keberatan, dan ia yaitu utusan mereka. Argumen Imam al-A’masy ini menarik lantaran memakai pendekatan komparatif. Ketika “khusyu” dijadikan dalil pembenaran, ia meruntuhkannya dengan logika “khusyu” dari arah lainnya. Pertanyaannya kenapa Imam al-A’masy memakai argumen tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa khusyu’ bukan sebatas memanjangkan shalat, apalagi di ketika ramai (berjamaah). Jika khusyu’ dinilai dari panjang-pendeknya shalat, maka orang-orang riya sanggup masuk kategori ini. Tidak ada orang yang sanggup mengalahkan orang-orang riya dalam hal menyiarkan pribadi ibadahnya ketika ramai. Meski demikian, di sini kita tidak akan membicarakan khusyu’ secara detail. Untuk mengetahuinya silahkan lihat kitab al-Khusyu’ fi al-Shalat karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Pembahasan kita akan difokuskan pada bagaimana pendekatan orang khusyu’ dalam memahami kisah di atas.

Pernyataan terakhir Imam al-A’masy seolah-olah menempatkan khusyu’ personal dan khusyu’ sosial dalam satu wadah yang saling melengkapi satu sama lainnya, lantaran orang-orang khusyu’ sudah mengerti betul keadaan dirinya. Untuk lebih mempermudah, kita akan memakai istilah “orang-orang yang terus berusaha khusyu”, lantaran kekhusyu’an bukan keadaan yang tetap dan statis. Kekhusyu’an harus didapatkan setiap saat, tidak kemudian didiamkan sehabis pernah merasa berhasil memperolehnya.

Bagi orang-orang yang memahami ini, mereka akan mengerti keadaan jiwa orang lain, bahwa khusyu’ bukan sesuatu yang “bim salabim” ada, tapi sesuatu yang diperoleh dengan usaha keras. Sebab, adakalanya orang yang memanjangkan shalatnya tidak berniat pamer, hanya ingin memperbanyak amalnya. Jika demikian, ia yaitu pencari pahala yang egois, lantaran tidak memikirkan makmum di belakangnya. Pencari pahala semacam ini sanggup dikatakan belum mengerti apa itu “khusyu”, bahkan mungkin belum terpikir sama sekali untuk masuk ke dalam kekhusyu’an. 

Dengan kata lain, verbal khusyu’ secara personal dan sosial berbeda. Karena ukuran insan tidak sama. Ada yang menganggap zikir lima puluh ribu sehabis shalat itu ringan; ada juga yang menganggapnya sangat berat. Di sinilah kenapa imam shalat atau pemuka agama harus mengerti perbedaan para jamaahnya. Jangan anggap semua orang sama menyerupai mereka. Jika mereka berpengaruh berzikir seratus ribu kali selama setengah jam, bukan berarti semua orang sanggup melakukannya juga. Maka, pola terbaik yaitu ulama-ulama di masa kemudian yang berfatwa memakai pendapat yang paling ringan untuk umatnya, tapi yang paling berat untuk dirinya sendiri. 



Kandungan lain dari kisah di atas yaitu pentingnya memahami manusia. Tidak semua insan mempunyai keadaan yang sama. Setiap orang membawa sejarahnya sendiri-sendiri, dan sanggup dipastikan alur ceritanya berbeda-beda. Karena itu, Rasulullah menegur keras imam shalat yang tidak mengerti jama’ahnya. Di antara jama’ahnya ada orang yang sudah tua, anak kecil, orang yang berkeperluan, dan lain sebagainya. Mereka mempunyai problemnya masing-masing. Maka saran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jangan berlebih-lebihan dalam beragama. Beliau bersabda:

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah orang yang mempersulit (berlebih-lebihan dalam) beragama, melainkan ia akan dikalahkan. Maka, laksanakan (dengan semestinya), dekatilah (semestinya), dan berbahagialah (dengan pahala-Nya). Dan mohon santunan di waktu pagi, petang dan sebagian malam.” (HR. Bukhari)

Maksudnya yaitu “agama itu mudah” bukan berarti menganggap gampang pengamalan agama, tapi mencari titik kenyamanan dalam mengamalkannya sesuai dengan ukuran diri kita. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa ukuran diri insan berbeda-beda. Jika kita berusaha mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama, sanggup dipastikan kita kalah dengan sendirinya. Sebab, berlebih-lebihan yang disengaja akan memberi tekanan berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, di samping “berlebih-lebihan” itu identik dengan pemaksaan dalam taraf yang keterlaluan. 

Karena itu, kita harus terus berusaha dan berjuang untuk memperbesar kapasitas ukuran diri kita. Salah satu caranya dengan istiqamah berguru dan beramal. Manusia dianugerahi Allah daya tampung diri unlimited (tidak terbatas), yang ada hanya pasang surut, terkadang sangat khusyu’, di waktu lain tidak sama sekali. Yang sedang kita bicarakan di sini yaitu daya tampung spiritual, yang sifatnya naik-turun, dan akan terus naik-turun hingga kapanpun juga, lantaran sudah menjadi tabiat dasarnya. Pertanyaannya, seberapa jeli kita mengenali gelombang naik-turun itu, dan seberapa lihai kita berselancar di permukaannya? 

Sebab, bagi orang-orang yang jiwanya sudah dilatih untuk terus berjuang, mereka cukup berhasil mengendalikan “berlebih-lebihan”, lantaran mereka tahu kapan saatnya meringkas, kapan saatnya memperbanyak, dan kapan saatnya menyederhanakannya.

Wallahu A’lam

Load comments