Selasa, 09 April 2019

Kisah Imam Debu Yazid Dianiaya Seorang Pemabuk

Salah satu kebiasaan Imam Abu Yazid (804-874 M) yakni sering berjalan-jalan di sekitar pemakaman. Suatu malam ketika kembali, dia berpapasan dengan seorang aristokrat muda yang sedang memainkan barbath (semacam kecapi). Imam Abu Yazid secara refleks mengatakan: “La haula wa la quwwata illa billahi” sebagai bentuk memohon pertolongan Allah. 

Pemuda itu tengah mabuk dan memukul kepala Imam Abu Yazid dengan barbathnya, hingga barbathnya pecah. Kepala Imam Abu Yazid pun berdarah. Ia kembali ke tempatnya dan memanggil salah seorang temannya. Ia menawarkan kepada temannya sebuah bungkusan yang dilipat rapi sembari mengatakan: “Sampaikan maafku pada fulan dan berikan ini padanya serta sampaikan perkataanku ini;

“Uang dirham ini yakni kompensasi atas barbath tuan (semacam kecapi) yang hancur lantaran kepalaku, dan manisan ini untuk menghilangkan kesedihan tuan lantaran (hancurnya barbath tuan) di ketika memukulkannya (ke kepalaku).” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), hal. 193).

Setelah cowok aristokrat itu mengetahui, bahwa orang yang dipukulnya tadi malam yakni Imam Abu Yazid, dia terharu dan bergegas mendatanginya untuk meminta maaf dan bertobat.

Akhlak Imam Abu Yazid ini mengandung dua dimensi, yaitu dimensi pencucian hatinya sendiri dan dimensi dakwah. Dimensi pertama, ketika mengucapkan “la haula wa la quwwata illa billah,” ada seberkas prasangka bahwa dirinya lebih baik dari pemabuk yang sedang bermusik di jalanan. Amal ibadahnya selama ini membuka pintu ‘ujub dan takabbur dalam hatinya, seakan mengemukakan perkataan halus, “Aku lebih baik darinya.” 

Karena itu, dia memandang pentingnya tobat dari keterjebakan ketaatan supaya tidak menyerupai Iblis. Ia berkata: “Tobat maksiat itu satu nilainya, sedangkan tobat taat itu seribu nilainya.” (Dr. Abdul Halim Mahmud, Abu Yazid al-Bistham, hal. 111).



Menurut Syekh Abdul Halim Mahmud (1910-1978 M), konsep tobat Imam Abu Yazid ini menurut pada ayat (QS. Al-Baqarah: 221, yaitu; “Sesungguhnya Allah menyayangi orang-orang yang memperbanyak tobatnya”, atau secara terus menerus. 

Lafal yang dipakai Al-Qur’an yakni al-tawwabin yang berarti orang yang banyak atau memperbanyak tobatnya, bukan al-ta’ibin (orang yang bertobat). Tujuannya adalah, untuk menjaga pintu hati tidak gampang disusupi oleh sifat takabbur, sum’ah dan ‘ujub.

Dimensi kedua (dakwah), dengan memberikan permohonan maaf dan mengganti alat musik yang pecah sesuai dengan harganya, meskipun posisi Imam Abu Yazid di sini yakni korban, meninggalkan keharuan dan kesan mendalam di hati cowok itu. Ditambah perhatian Imam Abu Yazid atas kesedihan hati cowok itu lantaran barbathnya yang rusak, sehingga cowok itu mengalami ekstase keharuan yang disebabkan oleh susila mulia seseorang, yang sama sekali tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya, bahwa ada orang yang bisa bertindak di luar cakupan prediksi.

Akhirnya, Ia berlari menghampiri Imam Abu Yazid al-Bistham, memohon maaf dan menyatakan diri bertobat. Tobat cowok aristokrat itu bukan lantaran terancam oleh sesuatu, tapi kehalusan kebijaksanaan Imam Abu Yazid al-Bistham. 

Sehingga Fariduddin ‘Attar menggambarkan tobatnya cowok itu dengan kalimat: “Pemuda itu bertobat dari segala kemaksiatan lantaran berkah susila mulia yang keluar dari diri Abu Yazid, semoga Allah merahmatinya.” (Fariduddin ‘Attar, Tadzkirah al-Auliya’, hal. 193).

Akhlak mulia itu bersumber pada kontinuitas tobat, setiap saat, dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya. Baginya, tobat tidak perlu harus bermaksiat dulu, tobat seharusnya dilakukan setiap saat, untuk menjaga hati kita dari sifat-sifat tercela. Semoga bermanfaat. 

Wallahu A’lam

Load comments