Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’ tercatat cerita menarik saat Imam Ibrahim bin Adham menjadi penjaga kebun. Berikut kisahnya:
Dikisahkan, Imam Ibrahim bin Adham berkata: “Aku pernah menjadi penjaga kebun. Suatu waktu pemilik kebun tiba dan memintaku untuk mencarikan buah delima yang masak. Aku mengambilkannya buah delima, dan ternyata rasanya masam. Kemudian saya mencari lagi buah delima yang masak, kemudian kuberikan sekeranjang buah delima lainnya, ternyata rasanya masam juga.”
Sang pemilik kebun berkata (kepadaku): “Engau sudah usang menjadi penjaga kebun, tapi engkau masih tak sanggup membedakan mana delima yang masak dan mana yang masam?”
Aku menjawab: “Aku ini penjaga kebun, (tugasku) bukan memakan buah delima hingga tahu mana yang masam dan mana yang masak.” Pemilik kebun berkata: “Dengan kezuhudan semacam ini, engkau niscaya Ibrahim bin Adham.” Kemudian saya pergi meninggalkan kebun itu. (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hal. 146)
Jangan salah memahami zuhud sebagai sinonim dari miskin. Zuhud bukan miskin, dan seorang zahid tidak disyaratkan untuk menjadi orang miskin. Orang kaya pun mempunyai peluang yang sama dalam berzuhud. Zuhud ialah salah satu maqam tasawuf (terminal) yang dihasilkan melalui kontemplasi ketat, tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Dengan kata lain, zuhud ialah penjinak kerakusan yang berlebihan dan aktivis kepasrahan mutlak kepada Allah. Kepasrahan yang hadir lantaran pilihan hidup, bukan lantaran malas berbuat. Imam Ibrahim bin Adham pernah mengatakan:
“Jika engkau ingin berada dalam kenyamanan, makanlah apa saja yang engkau dapatkan, pakailah apa saja yang engkau temukan, dan terimalah (ridha) dengan apa yang telah ditetapkan Allah atasmu.” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Thabaqat al-Auliya’, hal. 14)
Kata-kata di atas bukanlah bentuk “kepasifan berlebihan” menyerupai yang banyak disalah-pahami dari para sufi. Kalimat “makanlah apa saja yang engkau dapatkan,” mustahil terlaksana tanpa adanya usaha mencari makan. Titik pentingnya terletak pada lepasnya hati dari keterikatan harapan yang mengharuskan. Begitu pula dengan kalimat, “terimalah (ridha) dengan apa yang telah ditetapkan Allah,” yang bahwasanya merupakan motivasi luar biasa dalam hidup manusia. Sebagus atau sejelek apa pun ketetapan Allah, semuanya ialah misteri (ghaib), tidak sanggup diketahui secara terperinci.
Jika ada orang yang bermalas-malasan dengan alasan takdir, ia tidak termasuk orang yang mendapatkan atau ridha akan semua ketetapan Allah. Untuk hingga pada fase ridha (menerima), insan harus mengalami terlebih dahulu. Untuk mengalami, insan harus berusaha terlebih dahulu. Jika pun mengalami kegagalan, penerimaan akan ketetapan-Nya membuatnya terus maju ke depan. Karena itu, keghaiban takdir harus dimaknai dengan perspektif baik, alasannya ialah Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” (HR. Imam al-Bukhari). Inilah yang seharusnya dipahami oleh manusia.
 |
| Buah Delima |
Dalam cerita di atas, kezuhudan Imam Ibrahim bin Adham (w. 161 H) membuatnya menghindari masakan yang bukan haknya. Katanya, ia ditugasi sebagai penjaga kebun, bukan pencicip buah delima, meskipun memakan buah delima barang satu atau dua biji dalam pandangan umum sanggup diwajari, termasuk oleh pemilik kebun. Namun, Imam Ibrahim bin Adham menentukan tidak melakukannya.
Kisah di atas juga menyampaikan bahwa seorang praktisi zuhud sanggup memegang amanah dengan sangat baik. Perilaku Imam Ibrahim bin Adham merupakan buktinya. Amanah yang ia pegang bukanlah amanah tertulis. Pemilik kebun memperbolehkan penjaganya memakan buah delima sewajarnya. Tapi, lantaran itu tidak termasuk dalam kesepakatan tugasnya, Imam Ibrahim bin Adham tidak melakukannya.
Dalam tingkatan yang lebih rendah, zuhud harus dipahami sebagai amal yang harus terus diasah dengan kontinuitas riyadlah. Sebab, melihat kerangka kejiwaan manusia, hampir tidak ada insan yang tidak mempunyai ketertarikan terhadap sesuatu. Tuhan sendiri menggambarkan kehidupan dunia dengan kalimat, “Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka.” (QS. Al-An’am: 32). Kata “permainan” dan “senda gurau” merupakan simbol yang mewakili sopan santun insan yang serba tertarik akan sesuatu.
Dengan demikian, dalam level yang lebih rendah, zuhud harus dipraktikkan sebagai amal. Karena mustahil bagi semua orang berhasil menghapus ketertarikan kepada dunia beserta isinya. Jikapun mungkin, makna dari usaha melawan kerakusan diri menjadi hilang. Orang yang jago bukan orang yang tidak mempunyai kerakusan sama sekali, tapi orang yang sanggup menjinakkannya. Begitupun sebaliknya, orang yang jago bukan orang yang berderma tanpa rasa berat sedikit pun, tapi orang yang meski berat, ia tetap berderma. Sebab, dalam diri insan terdapat perasaan yang berlawanan; rakus-dermawan, tulus-pamrih, dan lain sebagainya. Persoalannya adalah, perasaan mana yang lebih sering diberi makan, maka perasaan itulah yang lebih berkuasa.
Apa yang ditampilkan Imam Ibrahim bin Adham dalam cerita di atas ialah zuhud yang sudah mencapai level terbaiknya, sehingga kecintaannya terhadap dunia dikalahkan oleh besarnya cinta kepada Allah. Jadi, bukan cinta terhadap dunianya yang hilang tapi dikalahkan oleh cinta kepada Allah yang lebih besar, sehingga ucapan Imam Yahya bin Mu’adz (w. 258 H) wacana zuhud sanggup diberlakukan di sini:
“Seseorang tidak akan hingga pada hakikat zuhud hingga orang tersebut berhasil mendapatkan tiga hal; amal tanpa pamrih, ucapan tanpa kepura-puraan, dan kekuatan tanpa melemahkan.” (Imam Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, hal. 221)
Wallahu A’lam