Rabu, 10 April 2019

Cara Menilai Orang Lain Berdasarkan Ulama Sufi

Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat wacana Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut riwayatnya:

Dari Kinanah bin Jablah al-Sulami, ia berkata: Imam Bakr bin Abdullah berkata: “Ketika kamu melihat orang yang lebih bau tanah darimu, katakanlah (pada dirimu sendiri): ‘Orang ini telah mendahuluiku dengan keyakinan dan amal shalih, maka ia lebih baik dariku.’ Ketika kamu melihat orang yang lebih muda darimu, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya melaksanakan dosa dan maksiat, maka ia lebih baik dariku.’ Ketika kamu melihat teman-temanmu memuliakan dan menghormatimu, katakanlah: ‘Ini (karena) kualitas kebajikan yang mereka miliki.’ Ketika kamu melihat mereka kurang (memuliakanmu), katakan: ‘Ini (karena) dosa yang telah kulakukan.” (Imam Ibnu Jauzi, Shifat al-Shafwah, juz 3, hal. 248)

Sebagai pintu masuk memahami ungkapan di atas, kita harus membaca terlebih dahulu hadits nabi yang menjelaskan wacana dosa. Nabi saw. bersabda:

“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Andai kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan suatu kaum yang mereka akan berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim)

Hadits di atas perlu dipahami dengan cermat, alasannya yaitu bisa dianggap seakan-akan berdosa itu tidak masalah. Padahal titik beratnya bukan di situ. Dari kandungan maknanya, kita bisa temukan dua titik penting; pertama, pentingnya memohon ampunan kepada Allah, dan kedua, pengingat bahwa tidak ada insan yang suci dari dosa, siapa pun orangnya kecuali para nabi.

Artinya, hadits tersebut yaitu pengingat bagi insan untuk tidak merasa “sok suci” dan “sok tidak mempunyai dosa.” Di sinilah pesan yang tersirat adanya dosa, sebagai penyeimbang dari pahala. Menurut para ulama, merasa berdosa lebih utama daripada merasa berpahala. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) mengomentari hadits di atas dengan mengatakan:

“Ini (merasa berdosa) lebih disukai Allah daripada melaksanakan banyak ketaatan, alasannya yaitu tetapnya ketaatan terkadang menciptakan ujub pelakunya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma’arif fi ma li-Mawasim al-‘Am min al-Wadha’if, hal. 57)

Apalagi bila ujubnya sudah hingga membuatnya menilai orang lain dengan buruk. Sebab, evaluasi jelek terhadap orang lain, baik disadari atau tidak, berasal dari anggapan bahwa dirinya sudah baik, sehingga itu dijadikan ukuran dalam menilai orang lain. Karenanya sebagian ulama mengatakan: “Dosa yang membuatku butuh akan (ampunan)Nya lebih kusukai daripada ketaatan yang membuatku memamerkannya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma’arif fi ma li-Mawasim al-‘Am min al-Wadha’if, hal. 57-58)

Prasangka baik harus kita dahulukan dalam menilai seseorang, sejahat apapun orang tersebut. Andai kita melihat ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari orang tersebut, lakukanlah dengan ma’ruf. Apalagi bila orang yang kita nilai yaitu orang yang kita kenal atau dikenal berilmu. Kita harus lebih berhati-hati. Maka, penting bagi kita untuk menyebabkan hikmah Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani (w. 108 H) sebagai pegangan sekaligus pengingat diri.

Imam Bakr al-Muzani menghendaki insan untuk melihat dirinya sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai tidak lebih baik dari yang dinilai. Ia memahami betul bahwa mustahil insan mengenal sepenuhnya orang yang hendak dinilainya. Mereka tidak selalu bantu-membantu selama 24 jam, hanya melihat sebagiannya saja. Karena itu, sangat penting menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Lagi pula menilai diri sendiri yaitu perbuatan terpuji.



Persoalan lain yang ditimbulkan dari kegemaran menilai orang lain yaitu lupa untuk menilai diri sendiri, padahal itu sangat penting. Kenapa penting? Karena untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai insan yang penuh dosa. Dengan menilai diri sendiri (muhasabah) kita bisa meraba-raba semua dosa kita, kemudian memohon ampun kepada Allah. Kebanyakan insan membaca istighfar tanpa mencicipi dosanya, atau tanpa menyadari bahwa ia sedang memohon ampunan. Ia hanya tahu bahwa istighfar yaitu penghapus dosa, tapi lupa akan ingatan dosa-dosanya. Hal ini terjadi, salah satunya, alasannya yaitu kelalaian insan dalam membaca dirinya, apalagi bila sudah disibukkan dengan membaca yang lainnya.

Dengan mengikuti hikmah Imam Bakr al-Muzani, kita bisa memperoleh dua hal sekaligus; intropeksi diri (muhasabah) dan berbaik sangka (husnudhan). Keduanya merupakan jalan pembuka pendewasaan spiritual, dan di waktu yang sama menghadiai kita dengan pahala. Intinya, jangan anggap pahala sebagai tabungan, alasannya yaitu bisa menciptakan kita merasa lebih kaya dari yang lainnya. Anggaplah pahala sebagai materi bakar yang menciptakan kita selalu berusaha berada di jalan-Nya.

Sebagai penutup, ada satu hikmah luar biasa dari seorang tabi’in, murid Sayyidina Anas bin Malik (10-93 H), Imam Abu Qilabah (w. 104 H) yang mengatakan:

“Jika hingga kepadamu informasi wacana perbuatan saudaramu yang engkau benci, carikan alasan (berbaik sangka) untuknya semampumu. Jika engkau tidak menemukannya, maka katakan pada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak saya ketahui.” (al-Hafidz Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Asyfiya’, juz 3, hal. 285)

Maka, berhati-hatilah menilai sesamamu, siapa tahu ia mempunyai amal yang lebih banyak darimu. Allahumma sallimna min fitnati hadzihiz zaman. Amin.

Wallahu A’lam

Load comments