Rabu, 10 April 2019

Cara Menghindari Perilaku Gembira Diri Berdasarkan Imam Al-Ghazali

Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menyebut ujub sebagai penyakit kronis (ad-daul 'idlal). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan. 

Biasanya buah dari perilaku ini, kata al-Ghazali, yakni obral keakuan: gemar menyampaikan saya begini, saya begitu. Seperti yang Iblis la'natullah katakan ketika menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, "aku lebih baik dari Adam. Engkau ciptakan saya dari api sementara Engkau ciptakan dia dari tanah" (QS. al-A'raf: 12).

Dalam majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan diri sendiri, serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog umumnya orang menyerupai ini tak mau kalah dan dibantah.

Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali pertanda takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya, orang yang takabur (mutakabbir) gusar ketika mendapatkan pesan yang tersirat tapi bernafsu ketika memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana biar sanggup keluar dari jeratan ini? Imam al-Ghazali memperlihatkan tips dengan mengembalikannya pada administrasi pikiran:

"Ketahuilah bahwa kebaikan yakni kebaikan berdasarkan Allah di darul abadi kelak. Itu kasus ghaib (tidak diketahui) dan balasannya menunggu insiden kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu yakni kebodohan belaka. Sepatutnya kamu tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan mempunyai keutamaan di atas dirimu."



Ujub dan takabur yakni perihal dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang ditekankan yakni bagaimana yang pertama menata pikiran biar terhindar dari perasaan lebih istimewa dari yang kedua. Secara praktis, kiat-kiat yang ditawarkan Imam al-Ghazali yakni sebagai berikut:

Pertama, bila yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sementara dirimu yang lebih renta sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu.

Kedua, bila orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada Allah lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu. 

Ketiga, bila orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah mendapatkan anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa yang belum kamu capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagiamana mungkin kamu sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?

Keempat, bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang terbelakang berbuat atas dasar kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di darul abadi kelak.

Kelima, bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi maut seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam kemudian meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul khatimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa kemudian sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari campuran roti, gampang sekali. Sementara dirimu? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, kemudian menutup usiamu dengan amal terburuk (su’ul khatimah). Dengan demikian, muslim dan kafir kini masih sangat mungkin berbalik nasib di kemudian hari. Dirimu yang kini muslim mungkin di kemudian hari masuk kelompok orang yang jauh dari Allah dan dia yang kini kafir mungkin di kemudian hari masuk golongan orang yang akrab dengan Allah.

Tampak sekali Imam al-Ghazali hendak menutup peluang timbulnya ujub dan takabur dengan memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam diri manusia. Seolah ia ingin menyampaikan bahwa sepatutnya seseorang menghabiskan energinya untuk introspeksi (muhasabah) kepada diri sendiri ketimbang sibuk menghakimi kualitas diri orang lain. Sebab, hakim sejati hanyalah Allah dan keputusan final yang hakiki hanya ada di akhirat, bukan di dunia ini. 

Wallahu A‘lam

Load comments