Rabu, 10 April 2019

Cara Ampuh Menahan Murka Berdasarkan Imam Al-Ghazali

Pernahkah anda marah? Di antara kita niscaya pernah marah. Punya perasaan murka yakni sesuatu yang wajar. Nabi, sahabat dan para ulama juga pernah marah. Namun, yang paling penting diperhatikan yakni atas dasar apa kita murka dan bagaimana kita menyikapi gejolak itu: menahannya atau membiarkannya sampai memunculkan perlaku lanjutan, mirip berkata kasar, melukai orang lain, merusak barang, dan semacamnya.

Ada beberapa klarifikasi ihwal sisi negatif marah. Di antaranya:

“Seorang pria pernah meminta nasihat, ‘Wahai Rasulullah, perintahlah saya dengan sebuah perbuatan dan sedikitkanlah (jangan banyak-banyak).’ Nabi menjawab, ‘Jangan marah.’ Laki-laki tersebut mengulangi permintaannya, kemudian Nabi tetap menjawab, ‘Jangan marah’.”  (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Ibnu Mas’ud berkata, Nabi bertanya, ‘Siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?’ Kami menjawab, ‘Dia yang tidak sanggup dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun.’ Nabi menimpali, ‘Bukan demikian, akan tetapi yang perkasa yakni orang yang sanggup menahan dirinya ketika marah’.” (HR. Muslim)

Ja’far bin Muhammad berkata: “Marah yakni kunci dari setiap keburukan.”

Lalu bagaimana tips kita biar sanggup menahan amarah?

Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi memaparkan bahwa ketika amarah memuncak, ada dua cara luapan emosi itu sanggup diredam. Pertama, dengan ilmu. Kedua, dengan amal.

1.) Dengan Ilmu

Dari sisi ilmu, al-Imam al-Ghazali menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Pertama, berpikir ihwal ayat atau hadits Nabi ihwal keutamaan menahan amarah, memaafkan, bersikap ramah dan menahan diri, sehingga dirinya terdorong untuk menggapai pahalanya, dan mencegah dirinya untuk membalas, serta sanggup memadamkan amarahnya.

Kedua, menakut-nakuti diri dengan siksa Allah bila ia tetap meluapkan amarahnya. Apakah ia kondusif dari murka Allah di hari kiamat? Padahal ia sangat membutuhkan pengampunan.”

Ketiga, menakut-nakuti dirinya ihwal tanggapan dari permusuhan dan pembalasan, bagaimana sergapan musuh untuk membalasnya, menggagalkan rencana-rencananya serta bahagianya musuh dikala ia tertimpa musibah, padahal seseorang tidak sanggup lepas dari musibah-musibah. Takut-takutilah diri sendiri dengan pengaruh (buruk) amarah di dunia, bila ia belum sanggup takut dari siksaan di darul abadi kelak.

Keempat, berpikir bagaimana buruknya muka ketika marah. Bayangkan bagaimana raut muka orang lain dikala marah, berpikirlah ihwal buruknya murka di dalam dirinya, berpikirlah bahwa dikala murka ia mirip anjing yang membahayakan dan hewan buas yang mengancam, berpikirlah untuk mirip orang ramah yang sanggup menahan amarah layaknya para nabi, wali, ulama dan para bijak bestari. Berilah pilihan untuk dirimu, apakah lebih menentukan serupa dengan anjing, hewan buas dan manusia-manusia hina; ataukah menentukan untuk mirip ulama dan para nabi di dalam kebiasaan mereka? Agar hatinya condong untuk suka menjiplak sikap mereka bila ia masih menyisakan satu tangkai dari nalar sehat.

Kelima, berpikir ihwal alasannya yang mendorongnya untuk membalas dan mencegahnya dari menahan amarah, semisal ketika dalam hati terdapat bujuk rayu setan; “Sesungguhnya orang ini membuatmu lemah dan rendah serta menjadikanmu hina di mata manusia”, maka jawablah dengan tegas di hatimu “Aku heran denganmu. Kamu kini mencemoohku lantaran menahan diri, sedangkan kau tidak mencemooh dari kehinaan di hari kiamat. Kamu tidak khawatir dirimu akan hina di sisi Allah, para malaikat dan para Nabi”.


Ketika ia menahan amarah, maka seyogiayanya menahan amarah lantaran Allah. Yang demikian itu sanggup membuatnya agung di sisi Allah.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208)



2.) Dengan Amal

Sedangkan dari sisi amal cara menahan amarah yakni dengan berdzikir membaca ta’awudz, kemudian berusaha menenangkan diri. Carilah posisi yang lebih rileks. Bila dalam keadaan berdiri, maka sanggup berganti posisi dengan duduk. Jika dalam keadaan duduk, sanggup berganti posisi dengan tidur miring. Dianjurkan pula berwudhu dengan air dingin.

Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi mengatakan:

Adapun (mengatasi amarah dengan) amal, katakanlah dengan lisanmu, A’udzu billahi minasy syaithanir rajim (aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk). Bila engkau berdiri, duduklah. Bila engkau duduk, tidurlah miring. Disunahkan berwudhu dengan air yang dingin, bahwasanya kemarahan yakni dari api, sedangkan api tidaklah sanggup dipadamkan kecuali dengan air. (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’ihhah al-Mu’mini min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208).

Barangkali ekspresi kemarahan berdasarkan sebagian kalangan yakni sebuah perbuatan yang pertanda ketegasan, keberanian, dan keperkasaan. Mereka tidak sadar bahwa yang demikian tersebut timbul dari kebodohannya, pelakunya tidak mengerti bahwa untuk pertanda keberanian tidak harus bersikap demikian. Bahkan berdasarkan al-Ghazali perbuatan tersebut pertanda sakitnya hati dan kurangnya akal. Orang yang terbelakang ihwal hal ini sanggup diobati dengan dibacakan kepadanya hikayat-hikayat ihwal jago pemaaf dan kebaikan-kebaikan yang didapatkan dari mereka.

Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi mengatakan:

Dan motivasi paling besar yang mendorong untuk murka berdasarkan secara umum dikuasai orang terbelakang yakni apa yang mereka sebut kemarahan sebagai keberanian dan kemuliaan diri, sehingga dianggap baik dan dicondongi oleh nafsu. Ini yakni kebodohan, bahkan penyakit hati dan kurangnya akal. Orang terbelakang ini sanggup diobati dengan cara dibacakan kepadanya cerita-cerita orang yang ramah dan pemaaf, dan hal-hal yang dianggap baik dari mereka berupa menahan amarah, bahwasanya hal tersebut dikutip dari para Nabi dan Ulama. (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 207).

Demikian klarifikasi mengenai tips menahan amarah yang dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali. Semoga kita sanggup mengamalkannya.

Wallahu A’lam

Load comments