Rabu, 10 April 2019

Belajar Menahan Emosi Dari Cerita Murid Sunan Kudus

Nabi saw. bersabda: “Orang besar lengan berkuasa bukanlah yang sanggup mengalahkan musuhnya, namun yang sanggup mengendalikan emosinya ketika marah”. Perang melawan diri sendiri yakni perang melawan emosi di dalam dirinya. Emosi yakni energi yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Hadits tersebut mengajarkan bahwa mengendalikan emosi sendiri lebih jago daripada menundukkan orang lain. 

Rasulullah mencontohkan bagaimana dia sanggup mengendalikan emosinya. Saat mengajak ke jalan kebenaran, dia dilempari batu. Wajahnya berlumuran darah dan mengalir hingga kakinya. Rasulullah menahan marahnya. Beliau malah mendoakan kebaikan buat mereka yang melempari dan melukainya dengan batu. "Ya Allah, berikan petunjuk kepada kaumku, alasannya mereka belum mengetahui." Betapa lapang dada dan agung doanya. Doa yang lahir dari jiwa dan hati yang bersih. Subhanallah.

Kekuatan dzikir di samping karunia Allah, di dalamnya juga ada pengendalian emosi. Orang membaca basmalah sehari 7000 selama 7 hari. Lalu terasa ringan, maka dinaikkannya menjadi 12.000 sehari. Sampai terasa sanggup ditingkatkan. Lalu sehari 21.000 kali. Sampai emosinya nyaman dan  menyampaikan sanggup lebih dari itu, dan seterusnya.

Saat memperbanyak dzikir, salah satu ujiannya yakni emosi. Bosan, capek, banyak yang menyukai, ada yang bikin kesal, dan lain lain.

Ratminah, gadis anggun yang orang tuanya kaya raya ketika dilamar oleh Ibunya Baridin yang miskin, emosinya meledak. Ia memarahi, memaki, bahkan mengusir Ibu Baridin. Ia tidak besar lengan berkuasa menahan gemuruh emosi marahnya. 

Baridin sakit hati. Kalau ditolak, kenapa tidak dengan cara yang baik-baik? Ia pergi meninggalkan rumahnya. Ia menyendiri, tidak makan dan tidak minum. Lisannya membaca mantera kemat jaran goyang. Setelah dibaca berhari-hari dengan hati yang luka berlumuran darah dan dipenuhi dendam, energi manteranya mengkristal, kemudian menyerupai anak panah mistik melesat terbang menembus hati dan jiwa Ratminah.

Ratminah gelisah. Hati dan pikirannya dipenuhi wajah Baridin. Kemanapun wajah memandang, yang ada wajah Baridin yang dulu dibencinya. Rindu Ratminah meluap dan cintanya tumbuh dengan cepat tak tertahankan. Benteng pikirannya tidak sanggup membendung gejolak rindu dan cintanya. Ia pergi meninggalkan orang renta dan kekayaannya. Ia pergi ke sana kemari. Satu yang dicarinya dan satu yang disebut-sebut lisannya, yaitu Baridin. Ia menyerupai orang gila. Anak-anak di jalanan mempermainkan dan memanggilnya gila. Rambut dan tubuhnya tidak terurus. Matanya sering menitikkan air mata. Lisannya terus menyebut lirih nama Baridin. Lisannya jadi liar, sering tertawa sendiri. Tubuhnya dibawa oleh jiwanya yang dipenuhi luapan cinta mencari yang dicintainya. 

Saat dalam satu momen Ratminah bertemu Baridin. Ia terkejut. Ia merengek manja memohon semoga Baridin mau pulang dan hidup bersama dengannya. Baridin menolak. Sakit hatinya begitu dalam. Ia tirakat tidak makan dan tidak minum hanya punya satu tujuan, yaitu membalaskan sakit hatinya, bukan mencari kebahagiaan dan bukan ingin menyebarkan kebahagiaan. 

Jiwa Ratminah goncang. Harapannya lenyap. Jiwanya bergetar keras kemudian keluar dari tubuhnya. Tubuhnya beku tak sanggup bergerak. Ia meninggal di hadapan Baridin, orang yang selalu ada dalam bayangannya dan mengganggu jiwanya.

Baridin terkejut. Tubuhnya yang lemah, dehidrasi. Ia pun menyusul Ratminah ke alam barzakh. Baridin gagal mengendalikan emosi murka dan dendamnya yang membara.

Orang jago bukan orang yang marahnya mustajab, tapi yang marahnya sanggup dikendalikan. Saat murka dan hati mendidih akan meluapkan kutukan, segeralah tolak bala, bederma dan berdzikir semoga emosi murka tersebut tidak menjadi peristiwa bagi diri maupun orang lain.

Makam Arya Penangsang


Arya Penangsang gagal menjadi raja, alasannya tidak besar lengan berkuasa tirakat menahan emosi murka selama 40 hari, sebagaimana pesan gurunya, Sunan Kudus.

Kita ini tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa. Kendalikan emosi marah. Jangan hingga kutukannya mewujud. Boleh jadi itu istidraj. Dan jangan memancing kemarahan orang lain dengan merendahkan dan menyakitinya. Bukankah doa orang yang disakiti itu mustajab?

Kalaupun mereka tidak murka dan mengutuk. Tetap saja kezaliman kita yakni kegelapan, menciptakan hidup jadi sial, susah dan menderita. Sesungguhnya kezaliman itu yakni kegelapan. Cahaya ilmu, kebaikan, dzikir, dll jangan hingga padam diterpa angin kezaliman yang kita lakukan. 

Ya Allah, ampuni hamba, sayangi hamba, beri hamba rezki, tambal kekurangan hamba, angkat derajat hamba, beri hamba petunjuk, sehatkan, dan maafkan kelalaian hamba. Demikian salah satu terjemahan doa duduk di antara dua sujud. 

Wallahu A’lam

Load comments