Senin, 08 April 2019

Akibat Melaksanakan Dosa Maksiat Dan Cara Menghindarinya

Allah membuat segala sesuatu berpasangan. Kebaikan dan keburukan, berpengaruh dan lemah, menang dan kalah, panjang dan pendek, ketaatan dan kemaksiatan, dan seterusnya. Manusia tidak ada yang sanggup melepaskan diri dari kemaksiatan.

Perilaku maksiat tidak selalu diidentikkan dengan tindakan yang melanggar asusila. Maksiat sendiri berasal dari bahasa Arab, معصية asal katanya عصى يعصي yang maknanya menentang, mendurhakai, melanggar, dan membangkang. Artinya jikalau kita durhaka kepada Allah dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan-Nya maka otomatis kita telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Allah berfirman dalam surah an-Nisa ayat 14:

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, pasti Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang dia baka di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 14)

Ayat di atas mencantumkan redaksi imbas dari perbuatan durhaka atau maksiat kepada Allah yang berupa kekekalan di dalam neraka. Bentuk eksekusi yang berat memperlihatkan suatu larangan yang wajib dihindari.

Suatu hari seorang sobat yang berjulukan Wabishah mendatangi Rasulullah untuk bertanya apa yang dimaksud kebaikan dan apa yang dimaksud dengan keburukan. Rasulullah menyampaikan kepada Wabishah:

“Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari jiwamu. Kebaikan itu ialah sesuatu yang sanggup menenangkan dan menenteramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu ialah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun insan membenarkanmu dan insan memberimu aliran (membenarkan).” (HR. Ahmad)

Setiap larangan mempunyai konsekuensi atau jawaban yang akan ditanggung oleh pelakunya, begitu pun kemaksiatan. Imam al-Harits al-Muhasibi memperingati kita dalam kitabnya, Risalah al-Mustarsyidin:

وَاعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ الذُّنُوْبَ تُوْرِثُ الْغَفْلَةَ وَالْغَفْلَةُ تُوْرِثُ الْقَسْوَةَ وَالْقَسْوَةُ تُوْرِثُ الْبُعْدَ مِنَ اللهِ وَالْبُعْدُ مِنَ اللهِ يُوْرِثُ النَّارَ وَإِنَمَا يَتَفَكَّرُ فِي هَذِهِ الأَحْيَاءُ وَأَمَّا الأَمْوَاتُ فَقَد أمَاتَوْا أَنْفُسَهُمْ بِحُبِّ الدُّنْيَا

“Ketauhiilah wahai saudaraku, bahwa dosa-dosa menyebabkan kelalaian, dan kelalaian menyebabkan keras (hati), dan keras hati menyebabkan jauhnya (diri) dari Allah, dan jauh dari Allah menyebabkan siksaan di neraka. Hanya saja yang memikirkan ini ialah orang-orang yang hidup, adapun orang-orang yang telah mati, sungguh mereka telah mematikan diri mereka dengan menyayangi dunia.” (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, hal. 154-155)

Syekh Abdul Fattah Abu Guddah meringkas akibat-akibat dari maksiat dan dosa dari kitab al-Jawab al-Kafi liman Sa’ala ‘an ad-Dawa asy-Syafi:

Di antara jawaban melaksanakan kemaksiatan ialah terhalangnya dia dari ilmu dan rezeki; timbul sikap menyimpang antara dirinya dengan Allah, dan dirinya dengan orang lain; mempersulit urusan-urusannya; gelapnya hati, wajah, dan kuburan; lalainya hati dan badan, terhalangnya dari ketaatan, sia-sianya umur, menumbuhkan kemaksiatan sejenisnya, melemahkan keinginannya untuk taat pada Allah subhanahu wata’ala.

Kemaksiatan menjadi alasannya ialah hinanya dia di sisi Allah, merugikan orang-orang sekitarnya dan juga hewan-hewan, mewariskan kehinaan, merusak hati, mengunci mati hati pelakunya, memasukkan pelakunya kepada golongan yang akan dilaknat Rasulullah, dikeluarkannya dia dari golongan yang menerima doa dari Rasul dan malaikat bagi orang yang bertakwa (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, hal. 158)

Di atas ialah beberapa jawaban dari sikap maksiat. Selain itu masih banyak akibat-akibat yang tidak disebutkan di sini. Cukuplah akibat-akibat di atas menjadi pengingat bagi kita semoga kita lebih berhati-hati. 



Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi berkata dalam kitabnya Shayd al-Khathir, “Tidaklah mencicipi kenikmatan maksiat melainkan orang yang selalu lalai, adapun orang mukmin yang sadar, maka sebenarnya dia tidak mencicipi kenikmatan dari maksiat, lantaran ilmunya akan menghentikan perbuatan tersebut bahwa sikap maksiat ialah haram. (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, hal. 158)

Syekh Mushtofa as-Siba’i memperlihatkan tips untuk menghindar dari maksiat dalam kitabnya Hakadza ‘Allamtani al-Hayat:

إذا همّت نفسك بالمعصية فذكرها بالله، فإذا لم ترجع فذكرها بأخلاق الرجال، فإذا لم ترجع فذكرها بالفضيحة إذا علم بها الناس، فإذا لم ترجع فاعلم أنك تلك الساعة قد انقلبت إلى حيوان.

“Apabila dirimu tergerak melaksanakan maksiat maka ingatlah Allah. Apabila rasa itu belum hilang juga maka ingatlah etika seseorang (yang mulia). Apabila belum hilang juga maka ingatlah dengan terungkapnya maksiat tersebut apabila orang-orang mengetahuinya, apabila belum hilang juga maka ketahuilah ketika itu juga engkau telah menjelma binatang!” (Syekh Mushtafa as-Siba’i, Hakadza ‘Allamtani al-Hayat, hal. 13).

Semoga dengan pemaparan di atas, kita menjadi hamba Allah yang lebih berhati-hati dari sikap kemaksiatan. Amin

Wallahu A’lam

Load comments