Kamis, 07 Maret 2019

Tingkatan Tulus Berdasarkan Imam Nawawi Al-Bantani

Sudah menjadi maklum bahwa tulus merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Di dalam kitab At-Ta’rifat karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa tulus ialah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari banyak sekali kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rifat, hal. 14).

Dalam banyak sekali kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Quraisy Shihab seringkali mengatakan satu citra wacana tulus dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Seseorang melaksanakan satu amalan hanya sebab Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada impian surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni sebab menghamba kepada Allah saja.

Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melaksanakan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashaihul ‘Ibad membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashaihul ‘Ibad, hal. 58). Dalam kitab tersebut ia memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam tulus sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

“Tingkatan tulus yang paling tinggi ialah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melaksanakan hak penghambaan, bukan mencari perhatian insan berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Pada tingkatan ini orang yang melaksanakan amalan atau ibadah tidak mempunyai tujuan apapun selain hanya sebab menuruti perintah Allah semata. Ia menyadari bahwa dirinya ialah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah ialah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapat imbalan apapun.

Orang yang bederma dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya jawaban atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di alam abadi Allah akan memasukkannya ke dalam nirwana atau neraka. Ia hanya berharap ridha Tuhannya. 

Adapun tingkatan tulus yang kedua Syekh Nawawi menuturkan lebih lanjut:

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

“Tingkat keikhlasan yang kedua ialah melaksanakan perbuatan sebab Allah supaya diberi bagian-bagian alam abadi menyerupai dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam nirwana serta menikmati banyak sekali macam kelezatan surga.”

Pada tingkatan kedua ini orang yang bederma melaksanakan amalannya sebab Allah namun di balik itu ia mempunyai keinginan supaya dengan ibadahnya kelak di alam abadi ia akan mendapat pahala yang besar dari Allah. Ia beribadah dengan impian kelak di hari selesai zaman terselamatkan dari banyak sekali keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, sampai pada kesannya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam nirwana sehingga ia sanggup menikmati banyak sekali akomodasi yang tiada duanya.

Beribadah dengan niat dan motivasi menyerupai ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan tulus yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. Keikhlasan menyerupai ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melaksanakan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di alam abadi kelak.



Lebih lanjut Syekh Nawawi menuturkan:

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات 

“Tingkatan tulus yang ketiga ialah melaksanakan perbuatan sebab Allah supaya diberi belahan duniawi menyerupai kelapangan rezeki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”

Tingkat keikhlasan yang ketiga ini ialah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan sebab Allah namun ia mempunyai impian akan mendapat imbalan duniawi dengan ibadahnya itu. Sebagai pola orang yang melaksanakan shalat dhuha dengan motivasi akan diluaskan rezekinya, aktif melaksanakan shalat malam dengan impian akan mendapat kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar supaya dimudahkan mendapat keturunan dan lain sebagainya.

Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai tulus sebab agama sendiri memperlihatkan imbalan-imbalan tersebut dikala memotivasi umat untuk melaksanakan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya ialah tingkat paling rendah.

Lalu bagaimana jika seorang yang beribadah atau melaksanakan suatu amalan dengan motivasi selain tiga hal di atas? Semisal orang beribadah dengan impian akan dipuji dan dianggap orang lain sebagai orang yang taat, mencari ilmu dengan impian akan dihormati orang lain sebagai orang yang alim, bersedekah dengan impian akan mendapat bunyi banyak dalam pemilihan lurah, kepala tempat atau wakil rakyat.

Masih berdasarkan Syekh Nawawi bahwa yang demikian itu termasuk perilaku riya yang tercela, bukan ikhlas. Syekh Nawawi menegaskan:

وما عدا ذلك رياء مذموم

“Selain ketiga motivasi di atas ialah riya yang tercela.”

Wallahu A’lam

Load comments