Minggu, 31 Maret 2019

Surga Apa Yang Pernah Disinggahi Iblis, Nabi Adam Dan Istrinya?

Manusia penghuni dunia pertama kalinya yaitu Nabi Adam dan istrinya, Ibu Hawa. Hawa diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari tulang rusuk Adam. Meskipun Nabi Adam lahir menjadi insan pertama kali, Allah terlebih dahulu membuat nur Nabi Muhammad. Tidak aneh, walaupun Nabi Muhammad belum lahir di dunia, namun ketika Nabi Adam menikahi Hawa, Allah menyuruh Adam memperlihatkan mahar berupa shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Mustahil apabila Allah memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Dengan kata lain, adanya shalawat Adam kepada Nabi Muhammad merupakan bukti eksistensi Nabi Muhammad kala itu sudah ada walaupun secara fisik belum tampak. Eksistensi Nabi Muhammad yaitu sudah diciptakannya nur beliau. 

Pelaksanaan ijab kabul antara Adam dan Hawa bertempat di surga. Sejak diciptakan, Nabi Adam diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’alla di surga. Sekarang pertanyaannya, apakah nirwana yang ditempati Adam bersama Hawa waktu itu sama sebagaimana nirwana yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman kelak di akhirat? 

Menurut keterangan Syekh Mutawalli As-Sya’rawiy; 

Pertama, nirwana yang dihuni Nabi Adam bersama ibu Hawa bukanlah nirwana pembalasan sebagaimana yang di alam abadi kelak. Sebab, nirwana pembalasan hanya akan dimasuki insan sesudah melalui proses hisab. Sehingga dengan hisab tersebut, nirwana hadir sebagai reward bagi orang yang melaksanakan kebaikan. 

Kedua, di nirwana tidak dikenal dengan taklîf atau tuntutan macam-macam berupa perintah maupun larangan. Orang boleh melaksanakan apa pun dan makan minum apa pun sehingga minum khamr yang di dunia diharamkan, di nirwana menjadi halal. Kita tahu, Nabi Adam mendapat perintah dan larangan ketika di nirwana waktu itu. Nabi Adam perlu menikah memakai mahar. Ia juga dihentikan mendekat ke salah satu pohon. Ini bukti bahwa ada taklîf di sana yang secara umum hal tersebut tidak ada kalau di nirwana pembalasan manusia. 

Ketiga, di nirwana tidak ada gangguan setan. Sedang Nabi Adam ketika di nirwana malah digoda oleh setan. 

Surga yang ditempati oleh Nabi Adam, berdasarkan Syekh Mutawalli As-Sya’rawi yaitu sebuah daerah dengan kemudahan berharga yang lengkap. Allah berkehendak untuk menguji Adam dan Hawa dengan aturan-aturan penting. Allah menguji mereka dengan kekuasaan memilih. Dan semua utusan Allah, mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, semua tidak lepas dengan tuntutan Allah yang berupa “lakukanlah ini!” dan “jangan lakukan itu!”. 

Seperti ada satu perintah yang ditujukan kepada Adam dan Hawa sebagaimana dalam ayat:

“Dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu.” (QS. Al-Baqarah: 35) 

Ada pula larangan yang harus dijauhi oleh Adam dan Hawa: 

“(Tetapi) janganlah kau dekati pohon ini.” (QS. Al-Baqarah: 35) 

Pada ayat di atas sanggup kita pahami bahwa selain Nabi Adam, Hawa pun mendapat perintah dan larangan. Ada yang menarik pada diksi yang digunakan di Al-Qur’an. Pada ketika Allah menyuruh Nabi Adam dan istrinya untuk makan semaunya, diksi yang digunakan yaitu wakula (makanlah kalian berdua). Pada ketika yang sama, ketika Allah melarang keduanya memakan buah terlarang, Allah tidak memakai diksi wala ta’kula (janganlah kalian berdua makan yang itu), misalnya. Tapi Allah memakai kalimat wala taqraba (janganlah kalian berdua mendekat-dekat). 



Hal ini ternyata menunjukkan, watak atau watak insan memang tidak secara tiba-tiba melaksanakan kemaksiatan. Benih-benih kemaksiatan akan muncul sesudah dimulai berdekat-dekat terlebih dahulu, gres kemudian terjerumus kepada kemaksiatan yang sesungguhnya. Kita sanggup melihat juga larangan berzina. Itu dimulai dari mendekat terlebih dahulu. 

“Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) 

Para ulama menyatakan, mendekat dengan zina di antaranya dimulai dari melihat lawan jenis, bersentuhan, berpelukan dan lain sebagainya. Ini dihentikan sebab berdekatan dengan zina. Nabi Adam dihentikan makan buah tertentu, bukan dengan cara mencegahnya eksklusif pada inti larangan. Mendekat saja tidak boleh. Oleh sebab itu, kalau ada orang ingin selamat, mestinya ia mulai menjauhi dari hal-hal yang berdekatan atau berpotensi mengakibatkan kemaksiatan. 

Dinukil dari Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam Al-Fatawa Kullu Ma Yuhimmu al-Muslimu fi Hayatihi wa Yaumihi wa Ghadihi, juz 6, halaman 70-71.

Load comments