Senin, 25 Maret 2019

Para Penceramah Harus Berkaca Pada Dongeng Imam Malik

Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi (510-597 H) mencatat sebuah riwayat wacana seorang pria yang bertanya kepada Imam Malik bin Anas:

وعن ابن مهدي قال: سأل رجل مالك عن مسألة؟ فقال: لا أحسنها. فقال الرجل: إني ضربت إليك كذا وكذا لأسألك عنها. فقال له مالك: فإذا رجعت إلي مكانك وموضعك فأخبرهم أني قلت لك: لا أحسنها

Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi berkata: “Seorang pria bertanya kepada Imam Malik wacana suatu masalah.” Imam Malik menjawab: “la uhsinuha—aku tidak mengerti problem itu dengan baik.”

Kemudian pria itu berkata: “(Tolonglah) saya telah melaksanakan perjalanan jauh supaya sanggup bertanya kepadamu wacana problem ini.”

Imam Malik berkata kepadanya: “Ketika kau kembali ke kawasan tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa saya berkata kepadamu: la uhsinuha—aku tidak mengerti problem tersebut dengan baik.” (Imam Jalaluddin Abû al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hal. 361)

Sekarang ini kita berada di zaman otoritas (kepakaran) tidak lagi dianggap penting, dan teks terjemah Al-Qur’an atau hadits dianggap setara dengan teks aslinya. Kita sering melihat potongan gambar terjemahan ayat Al-Qur’an atau hadits dipakai untuk menghakimi sesuatu dengan mengatakan, “Penjelasan/pendapat kiai ini salah alasannya ialah tidak sesuai ayat Al-Qur’an. Bukankah dalam Al-Qur’an sudah terang dikatakan....” sembari melampirkan potongan gambar terjemahan ayat. 

Padahal ada proses panjang dan rumit dalam menghukumi sesuatu, apalagi menghakimi sebuah pendapat yang lahir melalui proses ilmiah yang panjang. Salah satu misalnya ialah ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ 

“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu selama) tiga kali quru’.....” (QS. Al-Baqarah: 228)

Kata quru’ dalam ayat tersebut mengandung makna ganda yang saling bertentangan, sanggup bermakna “sedang mengalami haid” dan sanggup juga bermakna “suci dari haid.” Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarh al-Waraqat mengatakan, “Sesungguhnya lafadz quru’ mengandung makna suci dan makna haid.” (Imam Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Waraqat, hal. 30). 

Perbedaan pemaknaan ini sanggup melahirkan aturan yang berbeda. Imam Syafi’i dan Imam Malik mengartikan quru’ sebagai “suci dari haid”, sedangkan Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah mengartikannya “mengalami haid”. Perbedaan pendapat ini besar lengan berkuasa pada cara hitung masa iddah wanita. Bagi yang mengamalkan makna “suci dari haid” masa iddahnya menjadi lebih pendek dari yang mengamalkan makna “mengalami haid”. Karena habisnya masa iddah dihitung dari masa sucinya, bukan dari berakhirnya haid.

Melihat pola di atas, ayat Al-Qur’an ternyata mempunyai banyak tipe yang harus didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tipe ayat di atas disebut mujmal dalam terminologi ushul fikih. Mujmal sendiri berarti, “Setiap lafadz yang tidak diketahui maksud pastinya.” (Imam al-Kailani, al-Tahqiqah fi Syarh al-Waraqat, hal. 322). Untuk lebih terang silahkan pelajari ushul fiqih, ulumul Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya. 

Dengan demikian, kita perlu meneladani Imam Malik. Beliau menolak menjawab pertanyaan yang berada di luar pemahamannya dengan mengatakan, “la uhsinuha” yang berarti “aku tidak mengerti dengan baik problem tersebut.” Beliau tetap bersikukuh menolak menjawab meski pria itu berusaha meyakinkannya dengan kalimat, “aku telah melaksanakan perjalanan jauh supaya sanggup bertanya kepadamu wacana problem ini.” Bahkan, dia menyuruh pria itu untuk memberikan pada masyarakat di tempatnya bahwa dia tidak benar-benar tahu.

Dalam cerita ini, Imam Malik tidak aib menyampaikan dirinya tidak tahu. Beliau tidak takut orang-orang menganggapnya bodoh. Beliau tidak takut dianggap keterlaluan dengan membiarkan pria itu pulang dengan tangan hampa meski telah melaksanakan perjalanan jauh. Imam Malik ingin menegaskan bahwa pengamalan agama harus dibangun dengan pengetahuan dan rasa takut kepada Allah. Imam Malik mengatakan:

ليس العلم بكثرة الرواية وإنما هو نور يضعه الله في القلب

“Ilmu itu bukanlah banyaknya riwayat, melainkan cahaya yang diletakkan Allah dalam hati.” (Imam Jalaluddin Abu al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hal. 361)

Jika ditarik dalam konteks sekarang, perkataan Imam Malik sanggup dipahami dengan rangkaian kalimat, “pengetahuan itu bukan seberapa banyak engkau hafal dalil agama, dan bukan pula seberapa cepat engkau menjawab pertanyaan agama, melainkan cahaya yang diletakkan Allah di hatimu.” 

Cahaya itu bersifat menerangi. Kata sebagian bijak bestari, insan sanggup melihat bukan sekedar alasannya ialah dia punya mata, tapi juga alasannya ialah adanya cahaya. Dengan cahaya kita sanggup melihat dengan utuh, tidak sepotong-potong. Jika cahaya telah memasuki hatinya, cahaya itulah yang kemudian membuatnya melihat dengan terang dirinya sendiri. Dia sanggup bercermin untuk menakar seberapa dalam pengetahuannya sebelum mengukur seberapa kuat imannya. Dia menjadi tahu seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya, sehingga saat ada pertanyaan, dia memahami betul kalau dia mempunyai jawabannya atau tidak.



Selain itu, cahaya ialah simbol pencerahan dan perubahan. Lambang dari pengetahuan. Karena itu, Imam Malik berpandangan pengetahuan bukan seberapa banyak hafalan riwayat dan penyebarannya, tapi cahaya yang menerangi hati manusia. Kenapa cahaya dijadikan sebagai simbol? Karena cahaya tidak pernah menentukan siapa atau apa yang diteranginya. Cahaya menghangatkan semuanya menyerupai matahari. Hafez (w. 1390 M), seorang penyair Persia berpuisi: “Even after all this time, the sun never says to the earth, 'You owe me.' Look what happens with a love like that. It lights the whole sky—bahkan sehabis sekian lama, matahari tak pernah sekalipun berujar pada bumi, ‘Kau berhutang padaku.’ Lihatlah, apa yang terjadi dengan cinta semacam ini. Itu menerangi seluruh langit.” (Hafez, The Gift: Poems by Hafez, The Great Sufi Master, terj. Daniel Ladinsky, New York: Penguin Compass, 1999, hlm 34)

Artinya, orang yang bakir harus menjadi pelita bagi semuanya tanpa pandang bulu. Pelita yang menerangi jalan yang harus ditempuh manusia. Dalam cerita di atas, Imam Malik sedang menerapkannya. Beliau tidak mau menjerumuskan orang lain dengan jawabannya. Bagi orang-orang berilmu, sedikit tahu masih kurang untuk menciptakan mereka berpendapat, apalagi kalau mereka merasa benar-benar tidak tahu. Karenanya, Imam Malik butuh waktu untuk melaksanakan riset, telaah, dan pandangan dari banyak sekali sisi sebelum menawarkan jawabannya. Beliau pun tanpa ragu menjawab, “aku tidak tahu.”

Wallahu A’lam

Load comments