Senin, 11 Maret 2019

Kisah Syaikhona Kholil Belajar Kepada Syaikh Nawawi Al-Bantani

Singkat cerita, Kholil kecil kini sudah dewasa, ia sangat tekun dalam mencari ilmu di beberapa pondok pesantren. Beliau telah lupa dengan kejadian luar biasa yang ia alami ketika di Pasuruan dulu. Berkat ketekunan dalam hal mencari ilmu, ia balasannya menjadi sosok perjaka yang disegani sebab kealimannya. Beliau bahagia sekali mengikuti bahtsul masa’il yang diadakan dimanapun, apalagi kalau ngobrol wacana kitab-kitab atau hukum-hukum syar'i niscaya ia sangat betah sekali. Beliau sudah mencicipi manisnya rasa beribadah dan menuntut ilmu.

Meskipun ia sudah nyantri ke beberapa kiai alim dalam waktu yang tidak sebentar, hingga ukuran ilmu yang ia peroleh bekerjsama sudah sangat mencukupi untuk diajarkan, namun ia menyerupai orang yang selalu haus akan tetesan air yang segar ketika berada di tengah padang pasir. Begitu juga di dalam dilema berguru dan tabarruk (mengharap berkah), ia masih merasa haus akan dua hal itu.

Hingga suatu ketika, ia mendengar wacana seorang ulama besar yang sangat alim di tempat Banten yang berjulukan Kiai Nawawi (Syaikh Nawawi Al-Bantani). Sebenarnya Kiai Nawawi tidak berada di Banten, tempat kelahirannya, namun ia sudah menetap dan berdakwah di kota Makkah Al-Mukarromah. Kealiman dan kezuhudan Kiai Nawawi sudah terdengar di seluruh penjuru Indonesia, hingga saking seringnya Kiai Kholil mendengar wacana Kiai Nawawi, maka niat dan tekad ia untuk berguru pada Kiai Nawawi tak sanggup dibendung lagi. Beliau dengan sabar menunggu kedatangan Kiai Nawawi pulang ke Banten. Memang biasanya Kiai Nawawi juga pulang ke Banten, entah itu 2 tahun sekali atau lebih, meski cuma sebentar.

Kiai Nawawi sendiri ialah salah satu kekasih Allah yang di kehidupan ia selalu dipenuhi dengan kemuliaan dan karomah. Terbukti ketika ia masih berada di kota Makkah, ia tahu dengan apa yang diinginkan oleh Kiai Kholil yang ada di Madura pada ketika itu. Segera ia berangkat pulang ke Banten dengan waktu perjalanan yang tak mirip biasanya, mirip yang dilakukan oleh Syaikh Abul Qais Al-Haroni, seorang wali dari Turki yang tiap habis berjamaah Subuh di Turki kemudian mengajar di Madinah Al-Munawwaroh, dan pulang lagi ke Turki sebelum matahari terbit.

Jika Allah yang berkehendak pada Kiai Nawawi mirip halnya pada Syaikh Al-Haroni tadi, maka tidak perlu waktu usang untuk menempuh perjalanan dari Makkah ke Banten. Sesampainya Kiai Nawawi di Banten, banyak yang bangga atas kepulangan beliau, banyak yang sowan. Berita kepulangan ia pun segera menyebar ke seluruh tanah Jawa dan Madura.

Begitu senangnya hati Kiai Kholil mendengar hal itu. Segera ia berkemas-kemas menempuh perjalanan ke Banten. Ketika Kiai Nawawi mengetahui bahwa Kiai Kholil akan berkunjung ke Banten, ia hanya tersenyum dan segera ia berkemas-kemas kembali ke Makkah biar Kiai Kholil tidak sanggup menemuinya. Beliau berpesan pada salah satu keluarganya:

"Jika ada perjaka yang berjulukan Kholil datang, bilang saja saya sudah kembali ke Makkah, dan tolong hal ini jangan engkau ceritakan pada siapapun juga, sebab ini ialah urusan saya dengan kiai muda itu (Kiai Kholil)".

Ternyata Kiai Nawawi memang benar-benar kembali ke Makkah. Akhirnya sampailah Kiai Kholil muda itu di rumah Kiai Nawawi. Begitu kecewanya ia sebab tidak sanggup bertemu dengan Kiai Nawawi yang sangat ia harapkan barokah dan nasihatnya. Beliau sangat ingin berguru pada Kiai Nawawi meski cuma sebentar. Rasa capek tidak ia rasakan, tekadnya untuk berguru ke Kiai Nawawi tidak surut malah semakin menjadi-jadi. Akhirnya Kiai Kholil pun berencana menyusul Kiai Nawawi ke Makkah.

Adapun Kiai Nawawi yang sudah berada di Makkah, ketika tahu bahwa Kiai Kholil muda akan menyusul dirinya ke Makkah, ia mengajar mirip biasanya di salah satu tempat di Makkah sambil menunggu kedatangan Kiai Kholil muda itu. Akhirnya tiba saatnya Kiai Kholil berangkat ke Makkah dengan membawa bekal secukupnya yang sanggup ia bawa. Meskipun sangat usang perjalanan menuju Makkah, namun semua itu terkalahkan oleh tekad dan niat ia untuk berguru ke Kiai Nawawi. Itulah citra sosok Kiai Kholil yang tidak pernah merasa cukup dan puas dengan ilmu agama yang sudah didapat di beberapa pesantren, ia masih tetap ingin berguru dan berguru terus.

Tibalah Kiai Kholil muda di Tanah Suci, terlebih dulu ia tiba ke Masjidil Haram, yang di dalamnya terdapat Ka'bah yang mulia. Belum terang sejarah mencatat apakah ketika ia tiba ke Makkah untuk mencari Kiai Nawawi itu ialah yang pertama kali atau yang kedua kali. Kemudian ia pun mencari tempat di mana biasanya Kiai Nawawi mengajar. Dalam waktu yang tak seberapa lama, balasannya ketemulah tempat Kiai Nawawi itu. Namun apa yang terjadi?.

Ketika ditanyakan. Memang betul rumah itu ialah tempat Kiai Nawawi tinggal dan mengajar, namun sudah 2 hari yang kemudian ia berangkat pulang ke Indonesia (Banten). Pasti sanggup kita rasakan bagaimana perasaan ia ketika itu.

Meskipun tidak bertemu dengan Kiai Nawawi, Kiai Kholil muda tidak pribadi pulang sebab ia harus melakukan ibadah haji dulu. Musim haji pun telah usai, dan Kiai Kholil muda beranjak pulang ke negerinya lagi. Namun untuk kepulangan ia yang ini, Allah SWT menawarkan satu karomah kepada beliau, yaitu entah bagaimana kisahnya, yang terang perjalanan ia menuju ke Indonesia berlangsung sangat singkat dan cepat. Kita niscaya mengerti akan hal itu, jikalau Allah berkehendak maka tidak ada yang tidak mungkin untuk terjadi, walaupun semuanya ada di luar jangkauan budi kita.

Kiai Kholil muda balasannya hingga di Indonesia. Singkat cerita, sehabis ia selesai mendapatkan tamu-tamu yang menyambut kedatangan ia dari tanah suci, maka niat untuk menemui Kiai Nawawi ia teruskan lagi. Berangkatlah ia menuju ke Banten untuk yang kedua kalinya. Susah payah dalam perjalanan itu tidak ia hiraukan. Akhirnya, sampailah Kiai Kholil muda di rumah Kiai Nawawi.

Ada yang berbeda kali ini, yaitu Kiai Nawawi sengaja menunggu kedatangan Kiai Kholil muda dan akan menemuinya. Tidak mirip sebelumnya, di mana ia selalu menghindar biar Kiai Kholil muda tak sanggup menemui dirinya. Pastilah itu semua ada tujuan dan maksud tertentu, dan Allah-lah yang mengatur semua perjalanan para kekasih-Nya.

Pertemuan pun balasannya terjadi. Bahagia sekali hati Kiai Kholil muda sanggup berhadapan pribadi dengan Kiai Nawawi pada ketika itu. Kiai Kholil muda sungkem di hadapan beliau. Kemudian saling ngobrol pun berlangsung:

"Anda dari mana Gus?", tanya Kiai Nawawi.

"Saya dari Madura, Yai", jawab Kiai Kholil muda.

"Kira-kira ada keperluan apa ya Gus?" tanya Kiai Nawawi

Kiai Kholil muda pun menjelaskan tujuan ia yang ingin menimba ilmu kepada ia dengan bahasa yang sangat santun yang mencerminkan bahwa Kiai Kholil muda nantinya ialah bukan orang sembarangan. Kiai Nawawi pun mengerti akan maksud Kiai Kholil itu. 

"Lho, kenapa Anda tiba jauh-jauh ke sini untuk menimba ilmu kepada saya?. Bukankah di bersahabat tempat Anda terdapat seseorang yang sangat alim, sangat zuhud dan sangat wara'nya?. Kenapa Anda tidak menimba ilmu pada ia saja?", kata Kiai Nawawi.

"Ngapunten (maaf) Yai.. Siapakah orang yang Yai maksud tadi?", tanya Kiai Kholil muda penasaran.

"Lho itu, Kiai yang ada di Pasuruan itu. Bukankah ketika Anda masih kecil dulu sudah pernah ke sana?. Dan bukankah Kiai itu dulu pernah bilang kepada Anda biar Anda tiba ke sana lagi jikalau sudah besar?", terang Kiai Nawawi.

Jawaban Kiai Nawawi itu menciptakan ia membuka kembali kenangan masa kecil dulu. Beliau teringat ketika diajak ayahandanya bersilaturrahmi ke tempat seorang Kiai yang berjulukan Sayyid Abu Dzarrin. Namun dalam hati Kiai Kholil muda masih ragu, apakah Kiai Abu Dzarrin itu yang dimaksud oleh Kiai Nawawi?.

"Nah, sudah ingat kan?, iya betul, nama ia Kiai Abu Dzarrin. Anda sudah usang dinantikan oleh beliau. segeralah ke Pasuruan bersahabat desa Karangsono itu!", kata Kiai Nawawi sebelum Kiai Kholil muda menanyakan siapa Kiai yang ia maksudkan itu.

Kiai Kholil muda menyesal kenapa ia hingga lupa dengan kejadian yang ia alami bersama Kiai Abu Dzarrin dulu?. Bukankah Kiai itu memang sudah berpesan biar ia menemuinya lagi di ketika dirinya sudah dewasa?. Dan ia juga semakin yakin bahwa Kiai Nawawi ialah benar-benar seorang kekasih Allah. Dari mana ia tahu sedetail itu wacana kejadian yang ia alami dulu bersama Kyai Abu Dzarrin?.

Foto Asli Syaikhona Kholil Bangkalan


Akhirnya, Kiai Kholil muda pun menuruti usulan Kiai Nawawi biar kembali ke Jawa Timur dan menemui Kiai Abu Dzarrin di Pasuruan. Ada hal yang menarik dalam kisah ini. Sebenarnya Sayyid Abu Dzarrin sudah meninggal dunia 3 tahun yang lalu. Kiai Nawawi pun sudah tahu akan hal itu, namun Kiai Kholil muda belum mengetahuinya, dan rupanya Kiai Nawawi sengaja tidak memberi tahu ia wacana hal itu. Dengan tekad yang sangat kuat, balasannya ia menuju ke Pasuruan ke tempat Kiai Abu Dzarrin.

Nah, kini timbul pertanyaan, budi apa yang akan kita pakai, jikalau ada seseorang yang masih hidup, akan menemui bahkan berguru kepada orang yang nyata-nyata sudah meninggal dunia 3 tahun yang lalu?. Sekali lagi jawabannya adalah, Allah-lah yang mengatur dan menghendaki semua itu, dan tidak ada sesuatu pun yang sulit bagi-Nya.

Setelah hingga di Pasuruan, ia pun menanyakan tempat Kiai Abu Dzarrin. Sudah usang sekali ia tidak kembali ke tempat itu sehingga kini ia lupa tempatnya. Sedangkan tiap orang yang ia tanya dimana tempat Kiai Abu Dzarrin, mereka menyangka bahwa yang ia tanyakan ialah tempat kubur (makam) beliau. Mereka pun memperlihatkan tempat kubur Kiai Abu Dzarrin itu, namun bagi Kiai Kholil muda yang mereka tunjukkan ialah rumah Kyai Abu Dzarrin, bukan kuburnya.

Setelah ia hingga di tempat Kiai Abu Dzarrin, subhanallah.. benar-benar Kiai Kholil ditemui oleh beliau, seolah-olah Kiai Abu Dzarrin itu benar-benar masih hidup. Tidak terang mirip apa proses berguru Kiai Kholil muda di tempat Kiai Abu Dzarrin ketika itu, yang terang hingga kini di makam Kiai Abu Dzarrin terdapat sebuah goresan pena di dinding yang menceritakan wacana pertemuan dan belajarnya Kiai Kholil muda bersama Kiai Abu Dzarrin At-Tuqo (Kiai Tugu), dan kejadian itu sudah menjadi sebuah kisah yang selalu disampaikan disaat program haul akbar Sayyid Abu Dzarrin di Pasuruan yang biasanya diselenggarakan pada tanggal 16 Syawal tiap tahunnya. Bahkan hingga kini dari pihak anak cucu Kiai Kholil selalu mengirimi beras ke Pasuruan untuk program haul tersebut.

Wallahu A’lam

dutaislam.com

Load comments