Senin, 18 Maret 2019

Kisah Seorang Santri Yang Sering Memfitnah Kiainya

Suatu ketika seorang santri meminta maaf kepada Kiainya yang telah difitnahnya. Sang Kiai hanya tersenyum.

“Apa kau serius?” tanya Sang Kiai

“Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya,” jawab santri.

Sang Kiai termangu sejenak. Lalu ia bertanya, “Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?”

“Ya, saya punya sebuah kemoceng Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

“Besok pagi, berjalanlah dari kamarmu ke pondokku. Berkelilinglah di lapangan sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu ihwal aku, kemudian jatuhkan di jalanan yang kau lalui. Kamu akan mencar ilmu sesuatu darinya.”

Keesokan harinya, sang santri menemui Kiai dengan sebuah kemoceng yang sudah tak mempunyai sehelai bulu pun pada gagangnya. Ia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Sang Kiai.

“Ini Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu di sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari lima kilometer dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan jelek saya ihwal Kiai. Maafkan saya, Kiai.”

Sang Kiai termangu sejenak, kemudian berkata, “Kini pulanglah. Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan ketika kau menuju pondokku. Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang dapat kau kumpulkan.”

Sepanjang perjalanan pulang, sang santri berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan.

Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau melekat di bangunan-bangunan pesantren ini, atau tersapu ke daerah yang sekarang tak mungkin ia ketahui.

Sang santri terus berjalan. Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan kamarnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya terasa berat. Tenggorokannya kering. Hanya ada lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan.

Hari berikutnya sang santri menemui Sang Kiai dengan wajah yang duka sambil menyodorkan lima helai bulu ke hadapan Sang Kiai.

"Kiai, saya mohon maaf. Hanya ini yang berhasil saya temukan.” kata santri

"Kini kau telah mencar ilmu sesuatu,” kata Sang Kiai.

“Apa yang telah saya pelajari, Kiai?” tanya santri itu.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Sang Kiai.

“Bulu-bulu yang kau cabuti dan kau jatuhkan sepanjang perjalanan ialah fitnah-fitnah yang kau sebarkan. Meskipun kau benar-benar meratapi perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu ialah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke aneka macam daerah yang tak mungkin dapat kau duga-duga, ke aneka macam wilayah yang tak mungkin dapat kau hitung!." imbuh Sang Kiai

"Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu ketika kembali pada dirimu sendiri. Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, sebab kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak dapat menghentikan semua itu!," tambah Sang Kiai

"Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak dapat kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya." terang Sang Kiai



Sang Kiai termangu sejenak kemudian melanjutkan nasihatnya:

"Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Meskipun saya atau siapa pun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir sampai kau tak dapat membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup sebab angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak dapat menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak. Itulah kenapa, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan."

Bayangkan bagaimana jikalau bulu-bulu kemoceng itu tersebar di dunia media sosial. Dunia digital yang akan selalu ada meski kita sudah menghapusnya. Maka, setiap kita posting coba di telaah dulu fitnah atau bukan?

Wallahu A’lam

Load comments