Selasa, 12 Maret 2019

Kisah Jenderal Hirohito Tabrak Silat Dengan Kiai Gunardho

Jenderal Hirohito hidup di masa Jepang menjajah Indonesia. Ia mewakili Kaisar Jepang. Mendengar nama KHR. Sumogunardho, Parakan, ia merasa tertantang untuk menemuinya, alasannya bambu runcingnya yang cukup menyibukkan militer Jepang.

Oleh Hirohito, Kiai Gunardho ditantang pencak, langgar saksi ilmu beladiri di sebuah gunung erat Magelang-Temanggung; Gunung Manden. Tantangan itu diiyakan oleh Kiai Gunardho dengan syarat; jikalau Hirohito kalah, ia harus ikut dengan Kiai Gunardho. Begitu juga sebaliknya.

Namanya pendekar, akad selalu ditepati hingga mati. Saat itu, Hirohito mengumbar janji, “Jika kalah, keturunannya akan menikah dengan keturunan Kiai Gunardho di Parakan”.

Di gunung tersebut, pertarungan sengit antara Kiai Gunardho dan Hirohito berlangsung tanpa henti hingga tiga hari tiga malam berturut-turut. Jurus pencak belakang layar Kiai Gunardho terpaksa digunakan untuk menghadapi sang jenderal. Banyak santri dan tentara Jepang menjadi saksi kejadian tersebut.

Pengasuh Perguruan Bambu Runcing tersebut -saat itu belum jadi pesantren- nampaknya keluar sebagai pemenang. Entah tahun berapa kejadian ini berlangsung, yang pasti, Hirohito jadinya mengakui kesaktian Kiai Gunardho atas pencak Bambu Runcingnya. Hirohito menjadi muallaf di tangan Kiai Gunardho. Dia mengikuti jalan hidayah memeluk Islam.

Janji menikahkan keturunan Hirohito dengan keturunan Kiai Gunardho pun ditepati oleh keluarga Hirohito di Jepang. Tahun 2000an, seorang putri bagus dari Jepang tiba ke Parakan menemui KH. Muhaiminan Gunardo, putra Kiai Gunardho yang meneruskan Pencak Silat Pesantren Bambu Runcing.

Jauh-jauh tiba dari Jepang, ternyata sang putri ingin dinikahkan dengan salah satu keturunan Kiai Gunardho. Namun undangan itu ditolak halus oleh Kiai Muhaiminan, yang meninggal pada tahun 2007 lalu. Kiai Muhaiminan sendiri ialah menantu Kiai Anwari, ulama yang jago silat beladiri yang juga berasal dari Parakan, Temanggung.

Kaisar Hirohito bersama Presiden Soekarno


Ceritanya, sebelum menikah, Kiai Anwari menantang kepada tiap calon menantunya untuk pencak silat. Kiai Muhaiminan juga harus mendapatkan tantangan itu jikalau hendak menikahi putri Kiai Anwari, yang berjulukan Jayyidah. Mau tidak mau, Kiai Muhaiminan harus menuruti undangan calon mertuanya tersebut, yang juga guru silat dan kiainya.

Antar kiai sakti terjadi saling serang. Bukan hanya di medan laga luas, di bawah meja pun Kiai Muhaiminan harus mengalahkan Kiai Anwari jikalau ingin menjadi menantunya. Kiai Muhaiminan jadinya sanggup mengalahkan gurunya, dan berhak menikah dengan Ibu Nyai Jayyidah yang juga jago beladiri.

Andai saja Kiai Muhaiminan mau mendapatkan putri keturunan Jenderal Hirohito itu, misal dinikahkan dengan cucu atau putranya, barangkali Bambu Runcing sudah berkembang massif di Jepang. Tapi sejarah menerangkan lain. Pencak Bambu Runcing tetap menjadi karya seni beladiri otentik para pahlawan di Indonesia, yang sekarang sudah menjadi bab dari Pagar Nusa, ikatan silat di bawah naungan Nahdlatul Ulama. 

badriologi.com

Load comments