Selasa, 26 Maret 2019

Kisah Cucu Rasulullah Dihujat Dan Dihina

Dikisahkan wacana Sayyidina Husain bin Ali radiyallahu ‘anhuma bahwa telah hingga kepadanya perkataan seseorang yang tidak menyenangkannya, lalu dia mengambil piring besar dan memenuhinya dengan kurma yang gres saja dipetik. Beliau membawanya sendiri ke rumah orang yang berkata tidak menyenangkan itu.

Sayyidina Husain mengetuk pintu rumah orang itu. Orang itu bangun membukanya. Ia melihatnya membawa piring besar yang penuh dengan kurma. Orang itu bertanya: “Apa ini, wahai cucu Rasulullah?”

Sayyidina Husain menjawab: “Ambillah piring penuh kurma ini, dikarenakan telah hingga kepadaku bahwa engkau telah menghadiahkan amal kebaikanmu kepadaku, maka saya ganti dengan ini.” (Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fî Nashihah al-Muluk, hal. 24-25)

Penghinaan seringkali disikapi dengan kemarahan. Itu bukan hal yang aneh, sebab memang wajar. Siapa pun yang dihina, dia akan tersinggung dan marah. Pertanyaannya, ke mana kemarahan itu menuju dan menjadi apa kemarahan itu? 

Rasulullah bersabda: “la taghdab—jangan marah.” (HR. Imam al-Bukhari). Tidak hanya berhenti hingga di situ, dalam riwayat lain terdapat tambahan: “la taghdab, wa laka al-jannah—jangan murka dan untukmu surga.” (HR. Imam al-Thabrani). Dengan kata lain, kemarahan bisa menciptakan orang kehilangan peluang masuk nirwana dan mengantarkannya lebih erat ke pintu neraka. Untuk memperjelas, mari kita kaji lebih dalam lagi.

Apa yang dilakukan Sayyidina Husain dalam cerita di atas tidak sesederhana yang dibayangkan. Beliau membawa formula “la taghdab” ke tingkat yang lebih tinggi, tidak sekedar bermain di wilayah menahan (sabar), tapi juga memasuki wilayah bersyukur. Kita tahu, kompetensi dasar “tidak marah” yaitu menahan diri (sabar). Dengan menahan diri, Allah sudah menjanjikan kita surga. Dan perlu diingat, menahan diri itu tidak mudah. Siapa pun orangnya niscaya pernah mengalaminya, yang membedakannya yaitu menjelma apa kemarahan itu.

Dalam cerita di atas, Sayyidina Husain menampilkan perilaku yang sukar dimengerti oleh insan pada umumnya. Beliau mengekspresikan kemarahannya dengan wajah syukur. Memberikan sepiring besar kurma sebagai ganti amal baik yang telah berpindah kepadanya. Karena dalam Islam ada aturan yang mengajarkan, jikalau ada orang yang bicara jelek wacana seseorang, amal baiknya akan berpindah ke orang yang dibicarakannya. 

Sayyidina Husain tidak mau mendapatkan amal baik orang lain dengan cuma-cuma. Beliau harus menggantinya dengan sesuatu yang eksklusif terasa keuntungannya oleh orang tersebut. Bagaimana tidak, dia telah mendapatkan manfaat eksklusif dari ucapan jelek orang tersebut, maka dia harus melaksanakan hal yang sama, memperlihatkan sesuatu yang bermanfaat secara eksklusif padanya. Baginya, mengambil manfaat tanpa mendermakan akibat yang setara termasuk perbuatan yang tidak terpuji. 



Jauh sebelum Sayyidina Husain, Nabi Isa as. pernah memberikan nasihat kepada Nabi Yahya as. biar menghadapi gunjingan dan kebohongan dengan syukur kepada Allah. Artinya, contoh perilaku semacam ini merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh para nabi, lalu diteruskan oleh para wali dan ulama yang shalih. Nabi Isa a.s berkata:

وإن قال فيك كذبًا فازددْ من الشكر فإنه يزيد في ديوان أعمالك وأنت مستريح، يعني أن حسناته تكتب لك في ديوانك

“Jika seseorang berkata dusta wacana dirimu, maka tambahkan syukurmu. Karena bekerjsama dia sedang menambah amalmu di buku catatan (amalmu) dan engkau pun menjadi orang yang damai. Maksudnya yaitu bahwa amal baik orang itu akan dicatat atas namamu dalam buku catatan (amalmu).” (Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, hal. 24)

Dilihat dari sudut pandang lain, sebagai penerus tradisi para nabi, tindakan Sayyidina Husain juga memperlihatkan keadilan yang luar biasa. Dengan mendapatkan hinaan atau gunjingan dari orang lain, dia mendapatkan dua kebaikan sekaligus; kebaikan dari keberhasilannya menahan amarah, dan kebaikan dari pindahnya amal baik orang lain kepadanya. Karena itu, dia memperlihatkan sesuatu sebagai bentuk keadilan kepada orang yang telah berjasa kepadanya, meski jasa itu dilakukan dengan cara yang tidak beretika.

Selain itu, dia juga menampakkan adab mulia. Sikapnya berhasil meninggalkan kesan mendalam di hati si penggunjing atau penghinanya. Bisa jadi ini merupakan citra paling sesuai mengenai dakwah bil hikmah. Dakwah yang muncul dari penerapan kaidah agama di tataran ideal tertingginya, sehingga menyentuh hati orang tanpa harus membuat-buat sesuatu.

Ini menciptakan kita jadi tahu bahwa satu anutan agama jikalau diamalkan dalam tataran idealnya sanggup membuka banyak pintu amal-amal lainnya. Berbeda jikalau pengamalan anutan agama berada di batas “hanya sekedarnya saja”. Misalnya proposal “la taghdab—jangan marah” dilakukan hanya sekedarnya saja tanpa membawanya ke wilayah syukur, adil dan wilayah-wilayah lainnya. 

Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan pakem “mengamalkan agama semampunya.” Karena bahasa “semampunya” bekerjsama bahasa yang tidak mempunyai batas yang jelas, tergantung pada setiap individu. Artinya setiap orang mempunyai batas kemampuan yang berbeda-beda. Kemampuan insan berkembang setiap harinya. Jadi, yang perlu dilakukan oleh insan yaitu melebarkan ruang kemampuannya untuk meningkatkan pengamalan agamanya ke level yang lebih tinggi. Yang terpenting yaitu jangan hingga berlebih-lebihan.

Kesimpulannya, cerita di atas merupakan pelajaran besar bagi kita biar meningkatkan standar kompetensi kita wacana “jangan marah”. Bahwa sabar tidak hanya membisu mendapatkan hinaan dan gunjingan, tapi mewujud juga dalam bentuk syukur dan adil. Kita pun harus sadar bahwa kita sedang mendapatkan kebaikan (pahala) dari orang yang berbicara jelek wacana kita. Jika kita sadar akan hal itu, harapannya kita akan lebih gampang mendapatkan semua kebencian wacana kita. Pertanyaannya, pernahkah kita menyampaikan “jangan marah” di ketika kita sedang marah?

Wallahu A’lam

Load comments