Rabu, 20 Maret 2019

Hukum Mengajukan Tawaran Santunan Dana

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum, Kiai Adib yang kami hormati, kini ini marak terjadi yang namanya ‘tukang’ proposal. Dia bekerja dengan cara menjual jasa pembuatan proposal sekaligus mengawal dan memperlancar proposal tersebut sampai dana atau pertolongan cair. Berhasil atau tidak ia akan menerima imbalan besar yang diambil dari prosentase dana atau pertolongan yang cair. Biasanya ia akan menciptakan laporan berupa rincian dana yang digelembungkan (dimanipulasi). Bagaimana aturan dari praktik tersebut? Jika dana atau pertolongan sudah cair bolehkan panitia mengambilnya sebagiannya untuk kepentingan pekerja atau manajemen yang lain? Atas tanggapan yang diberikan saya haturkan matur nuwun. Wassalamu’alaikum

Jawaban:

Wa’alaikum salam wa rahmatullah, Saudara yang senantiasa berbahagia. Sah-sah saja bila kita meminta pertolongan untuk suatu kepentingan bersama apalagi kalau menyangkut urusan syiar agama. Hal itu biasanya dilakukan dengan cara swadaya masyarakat atau mengajukan proposal ke perseorangan atau instansi tertentu menyerupai yang –mungkin- saudara maksud.
Proposal yang diajukan harus diadaptasi dengan kebutuhan yang ada, harus berdasar pada perencanaan yang matang dan disepakati bersama. Untuk urusan upah kepada pembuat proposal menyerupai yang saudara tanyakan berdasarkan pendapat yang berpengaruh yaitu HARAM hukumnya, alasannya yaitu upah (ju’lu) nya tidak maklum. Sehingga kalau kita ingin memperlihatkan upah harus diberikan upah sesuai dengan standarnya (ujrah mitsil) dan dihentikan diambilkan dari dana atau pertolongan yang sudah cair.



Bagi panitia boleh mengambil sebagian dana yang cair kalau itu untuk keperluan pekerja atau manajemen yang dibutuhkan. Hal ini ditinjau dari hibah pemerintah (mu’thi) yaitu hibah secara mutlak atau hibah secara muqayyadah. Namun harus ada atau aturan yang terang (qarinah) yang memberi keleluasaan untuk dipakai kepentingan tersebut.


Referensi: 

Hasyiyata Qulyubi [03]: 206/[2]: 380, Tuhfatul Muhtaj [8]: 197, Is’ad ar-Rafiq [2]: 76, I’anah at-Thalibin [3]: 421/[4]: 110, Bughyah al-Mustarsyidin: 126, Al-Azis Syarh al-Wajiz [5]: 82, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah [15]: 214.

majalahlangitan.com

Load comments