Kamis, 21 Februari 2019

Menyikapi Pendakwah Yang Berceramah Tanpa Ilmu

Beberapa hari terakhir ini, masyarakat Muslim Indonesia dihebohkan dengan ceramah seseorang yang dianggap sebagai ustadz dengan isi ceramah penuh caci-maki, melabeli orang yang berbeda pendapat dengan vonis “sesat”, serta serampangan dalam mengutip ayat: salah, di luar konteks, dan keliru menerjemahkannya. 

Bagaimana pandangan ulama-ulama terdahulu memandang hal tersebut? 

Ulama fiqih kenamaan bermazhab Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974) sebagaimana dituliskan dalam kitabnya “Al-Fatawa al-Haditsiyyah” (masalah nomor 241), memuat diskusi menarik, sebagaimana terjemahan berikut ini:

Ibnu Hajar ditanya wacana orang yang mengisi ceramah kepada masyarakat Muslim dengan menyertakan kutipan tafsir Al-Qur'an dan hadits sedangkan ia sendiri tidak menguasai ilmu sharaf (morfologi Arab), i'rab dari disiplin ilmu nahwu (sintaksis), ilmu ma’ani dan ilmu bayan (sastra Arab). Apakah orang yang memiliki profil demikian boleh mengisi ceramah? Apakah ia dihentikan ceramah sama sekali kecuali atas izin pemerintah? Apabila pemerintah melarang (lalu dilanggar), apakah mereka boleh dihukum? Jika dihukum, seberapa besar batasannya? 

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjawab, “Jika ia ceramah memakai ayat yang bersinggungan dengan usulan melaksanakan kebaikan (at-targhib), menyarankan untuk meninggalkan kejahatan (at-tarhib) atau sejenisnya serta memakai hadits sesuai konteks atas apa yang ia bahas seraya mengutip tafsir-tafsir yang disampaikan para ulama yang berkompeten, maka bagi orang yang tidak paham nahwu, sharaf, atau disiplin ilmu lain sebagaimana di atas dipersilakan, tidak ada masalah. 

Ibnu Hajar memberi alasan, alasannya ialah dai/ustadz tersebut hanya mengutip perkataan ulama saja, maka tidak ada syarat lain kecuali hanya satu syarat yaitu dai/ustadz tersebut harus ‘adalah/adil (ia bukan hebat maksiat yang melaksanakan dosa besar atau melaksanakan dosa kecil tapi terus-menerus sedangkan ia belum bertobat). Yang penting marwahnya terjaga, ia boleh berceramah.

Namun kalau yang disampaikan oleh dai/ustadz tersebut berkaitan dengan olah pikir, namun ia meneliti sendiri tanpa basis ilmu yang terang dan memadai, maka siapa pun juga baik itu ulama, pemerintah atau siapa pun orang yang bisa mencegah, harus bantu-membantu melarang dai/ustadz tersebut untuk tampil di muka publik. 

Apabila masyarakat tidak bisa menghalau ia berorasi, harusnya masyarakat melaporkan dai/ustadz tersebut kepada pihak berwajib supaya dieksekusi dengan sanksi berat supaya ia jera (kapok) dan orang-orang udik yang tidak memiliki kapasitas ilmu yang cukup supaya tidak menjiplak dai/ustadz tersebut. 

Hal ini sangat penting disampaikan supaya tidak terjadi mafsadah (kerusakan) parah yang ditimbulkan dai/ustadz tersebut. 



Berikut sedikit cuplikan orisinil perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami: 

وَأما إِذا كَانَ يتَصَرَّف فِيهِ بِرَأْيهِ أَو فهمه وَلَا أَهْلِيَّة فِيهِ لذَلِك بِأَن لم يُتْقن الْعُلُوم الْمُتَعَلّقَة بذلك فَإِنَّهُ يجب على أَئِمَّة الْمُسلمين وولاتهم وكلُّ من لَهُ قدرَة منعَه من ذَلِك وزجرَه عَن الْخَوْض فِيهِ، فإنْ لم يمْتَنع رفع إِلَى بعض قُضَاة الْمُسلمين ليعزِّره التَّعْزِير الشَّديد الْبَالِغ الزاجر لَهُ ولأمثاله من الجهَّال عَن الْخَوْض فِي مثل هَذِه الْأُمُور الصعبة لما يَتَرَتَّب على ذَلِك من الْمَفَاسِد والقبائح الْكَثِيرَة والشنيعة

“Apabila dai/ustadz memberikan ceramah bukan berdasar kutipan tafsir ulama, namun semata-mata memakai olah pikir atau analisisnya pribadi, sedangkan ia bukan pakar di bidang itu, bisa jadi alasannya ialah ia tidak menguasai keilmuan yang berkaitan dengan ceramah yang ia sampaikan, maka bagi para ulama, pemerintah dan semua orang yang bisa untuk menghalau dai/ustadz tersebut supaya ia tidak berbagi kesesatan di situ. Apabila tidak berhasil, maka perlu dilaporkan kepada pihak berwajib supaya dieksekusi (ta’zir) dengan sanksi berat yang bisa menciptakan jera dai/ustadz tersebut serta supaya orang-orang udik tidak tersesat pada permasalahan yang rumit ini. Sebab efek kerusakan (mafsadah) dan keburukan-keburukan yang sangat banyak bisa timbul gara-gara mereka. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa al-Haditsiyyah, [Darul Fikr], halaman 162)

Wallahu A’lam


Load comments