Minggu, 17 Februari 2019

Kisah Syaikh Bubuk Hasan Bersama Perempuan Super Cantik

Pada ketika menjalankan ibadah thawaf, Syaikh Abu Hasan sempat melihat di antara orang yang sedang thawaf terdapat seorang perempuan yang wajahnya bersinar terperinci mengagumkan. Keelokan wajahnya memaksa Syaikh Abu Hasan menjadi terheran-heran.

Ia hingga melontarkan perkataan, “Demi Allah, seumur-umur saya belum pernah melihat wajah perempuan begitu bersinar melebihi perempuan ini. Saya yakin, orang menyerupai demikian niscaya tidak punya pikulan beban pikiran berat dalam hidupnya.”

Entah dengan lantaran apa, perempuan super anggun yang dikagumi tersebut bercerita atas insiden yang menimpa pribadinya. “Demi Allah, bekerjsama saya yaitu orang yang memiliki pikulan beban pikiran sungguh berat. Hatiku kalut. Jiwa saya penuh dengan kesusahan. Tidak ada seorang pun yang sanggup ikut mencicipi beban beratku ini,” kata perempuan ini memulai curhatnya.

Kisahnya, pada ketika hari raya Idul Adha tiba, kami berkurban. Suamiku bertindak sebagai penyembelih kambing yang telah kami persiapkan sebelumnya. Salah seorang anakku menyaksikan proses penyembelihan.

Setelah melihat, anakku yang besar tersebut bertanya kepada adiknya, “Mau nggak, saya kasih tahu bagaimana ayah tadi menyembelih binatang kurban?” Karena mereka masing-masing masih kecil, adiknya yang masih kecil itupun juga mengiyakan begitu saja.

Saat itu, saya sedang di dapur untuk memasakkan keluarga kecilku tersebut. Anak saya yang paling kecil masih minum air susu sembari saya gendong. Mereka bercakap-cakap dan lalu bermain seolah sang abang bertindak sebagai ayahnya. Sedangkan adiknya menjadi seekor kambingnya.

Saat mereka main sembelih-sembelihan kurban, mereka tidak memakai pisau mainan, namun pisau asli. Pada alhasil anakku yang besar bermain menyembelih kambing yang digantikan adiknya dengan pisau asli. Dan lalu si adik benar-benar wafat.

Karena ketakutan, sang abang melarikan diri dari rumah. Ia lari ke hutan. Namun apa daya. Ia diterkam singa hingga tamatlah riwayatnya. Yang lebih tragis. Ayahnya belum dewasa masih mencoba mencarinya barangkali anak saya masih selamat. Namun sayang, suami saya malah tidak segera kembali pulang.

Saya susul di hutan. Anakku yang tadinya saya gendong saya lepaskan. Saya mencoba ingin tahu bagaimana keadaan suamiku. Ternyata suamiku mati kehausan. Satu-satunya anak yang masih saya gendong tadi, lantaran belum bisa berjalan, ia mencoba meraih apa saja yang ada di dapur.

Namun apa yang terjadi, ia meraih kuali yang masih panas di atas bara api. Airnya tumpah. Tubuh anak saya yang kecil itu melepuh bahkan hingga tulang-tulangnya. Ia pun menyusul mati kemudian.

Anakku tinggal satu, yaitu perempuan yang sudah menikah. Cerita masih berlanjut. Anakku perempuan yang sudah menikah tersebut, sehabis mendengar kisah yang kami alami, lantaran tidak kuat, ia pun alhasil terjun ke jurang, bunuh diri. Sepanjang masa itu saya menjadi hidup sebatang kara.



Mendengar kisah demikian, Syaikh Abu Hasan lalu bertanya kepada perempuan tersebut. “Lalu bagaimana cara kesabaranmu menghadapi duduk perkara yang kau hadapi?”

Wanita itu menjawab “Tidak ada seorang pun baik yang bersabar maupun mengeluh kecuali memang di antara mereka terdapat perbedaan yang signifikan. Orang yang sabar, bersikap baik secara lahiriyahnya, ia akan mendapat kebaikan-kebaikan yang terpuji di lalu hari. Adapun orang yang cemas dan mengeluh, ia tidak akan mendapat ganti rugi.”

Aku mulai meninggalkan perempuan itu, kata Syaikh Abu Hasan. Sang perempuan menutup perkataannya dengan kalimat “Saya bersabar, lantaran sabar yaitu ratapan terbaik. Aku bersabar terhadap satu hal jikalau engkau mencicipi sebagian saja akan membuahkan deraian air mata hingga engkau bisa mengusapnya.”

Disarikan dari Kitab Syekh Muhammad bin Salim, Is’adur Rafîq, juz II, halaman 16.


Load comments