Kamis, 07 Februari 2019

Kisah Mondoknya Kh. Ahmad Dahlan Dan Kh. Hasyim Asy’Ari

Gejolak penyerangan kolonial semakin kentara pada awal kala ke-20. Bangsa Indonesia mulai muak dengan kebijaksanaan kancil Belanda selama ratusan tahun. Segala kekuatan dari aneka macam elemen dikerahkan demi terciptanya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlawanan terhadap penjajah tidak hanya dilakukan oleh para tentara dan rakyat biasa, tetapi juga hadir dari kalangan kaum bersarung (santri) dan para kiai Nusantara. Di antara para kiai itu yakni KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari.

Lahirnya sosok gres dalam upaya merebut kemerdekaan tanah air dari kalangan salafusshalih menjadi sorotan para penjajah dalam meningkatkan penyerangan. Hal itu mendorong para ulama kala itu untuk mengatur taktik dan meningkatkan kewaspadaan. Bagaimana tidak, kebijakan politik pemerintah Hindia-Belanda yang menaruh kecurigaan terhadap para haji, mereka menganggap para haji yakni biang keladi pada pemberontakan-pemberontakan sebelumnya. Sehingga, pada akhirnya, kebijakan inilah yang membatasi pergerakan Islam kala itu.

Ialah KH. Ahmad Dahlan, tokoh legendaris yang kita kenal sebagai founding father organisasi Muhammadiyah ini merupakan tokoh nasional yang sangat berjasa dalam upaya usaha kemerdekaan Indonesia. Lahir pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, putra dari seorang khatib Keraton Yogyakarta. Darwis lahir dari kalangan orang alim, bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng Gribig (salah satu ulama di zaman Kerajaan Mataram Islam) dan Maulana Ibrahim (Sunan Gresik) di sebuah kampung yang berjulukan Kauman, dengan lingkungan yang tentram di bawah naungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII kala itu. Kauman sendiri ketika ini terkenal sebagai perkampungan yang berdekatan dengan sentra keagamaan di sebuah perkotaan.

Hidup di antara rakyat yang taat pada rajanya, atmosfer keagamaan yang berpengaruh menunjukkan imbas yang luar biasa pada diri KH. Ahmad Dahlan. Hingga pada suatu ketika, dimana Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengutus Raden Ngabehi Ngabdul Darwis yang merupakan panggilan keraton terhadap KH. Ahmad Dahlan untuk menuntut ilmu di Arab Saudi.

Kedatangannya ke Arab Saudi inilah yang mempertemukannya pada sobat remajanya ketika berguru agama di Madura dan di Semarang; KH. Hasyim Asy’ari, tokoh besar pembaharu Islam dari kalangan pesantren. KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang pada tahun 1871 M. Sama halnya dengan Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari juga dibesarkan di lingkungan yang religius. Ayah KH. Hasyim Asy’ari mempunyai pondok pesantren di Jombang. Sejak usia 13 tahun, ia dipercaya ayahnya untuk menggantikan jadwal mengajar sang ayah, alasannya sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning).

Di usianya yang ke-15 tahun, ia mulai mengembara ke aneka macam pesantren di Jawa untuk memperdalam ilmu agama, menyerupai di Pesantren Wonocolo Jombang, Probolinggo, Pondok Langitan, Trenggilis, dan di Pesantren Kiai Kholil Bangkalan, Madura. Di sinilah ia awal mula bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan, keduanya berguru bersama di bawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan. Sampai pada akhirnya, empat dari murid Kiai Kholil tamat dari pendidikan keagamaan di Bangkalan, mereka diperintahkan untuk berguru ke Jombang dan Semarang.

KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari menerima perintah untuk berguru kepada Kiai Sholeh Darat di Semarang. Kiai Sholeh Darat merupakan ulama tersohor di pesisir utara Jawa kala itu. Bahkan keluarga RA. Kartini juga berguru agama kepada Kiai Sholeh Darat.

Sambung cerita, kedua cukup umur tersebut sangat menikmati nuansa pendidikan dari Kiai Sholeh Darat. Adi Hasyim, begitulah panggilan dekat KH. Ahmad Dahlan untuk Kiai Hasyim. Sebaliknya Kiai Hasyim juga memanggil KH. Ahmad Dahlan dengan panggilan dekat Mas Darwis. Konon, keduanya juga tinggal sekamar.

Selama kurang lebih dua tahun kedua santri ini mengabdi dan berguru agama pada Kiai Sholeh Darat dan Darwis menerima nama yang hingga kini dikenal semua orang yaitu Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan lebih dahulu meninggalkan pesantren di Semarang dan kembali ke Yogyakarta, sebelum pada jadinya mereka berdua juga bertemu pada guru yang sama ketika menimba ilmu di Arab Saudi.

Setibanya di Makkah inilah yang menciptakan keduanya mempunyai kecenderungan yang berbeda. Kiai Hasyim Asy’ari sangat menyukai hadits dan KH. Ahmad Dahlan lebih tertarik pada pedoman dan gerakan Islam. Karena keahliannya dalam hadist inilah yang menciptakan gurunya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menunjukkan gelar Hadratussyekh kepada Kiai Hasyim. Sampai pada jadinya keduanya sama-sama boyong (pulang/tamat dari pondok) dan kembali ke asal masing-masing untuk mengabdi pada tanah air.



Dua orang besar inilah yang memberi ornamen gres untuk kemajuan Islam di Indonesia. Dengan semangat pergerakan Islamnya, KH. Ahmad Dahlan ulet mendirikan forum pendidikan Islam yang formal dengan mengadaptasi pada sitem sekolah kolonial. Anak-anak muda Indonesia tidak hanya berguru agama saja, tetapi juga bisa memahami ilmu alam. Tidak mengherankan jikalau ketika ini kita banyak menemukan sekolah-sekolah, akademi tinggi dan rumah sakit yang maju milik Muhammadiyah, buah kegigihan dalam berideologi sang pendirinya.

Sosok Kiai Dahlan memang terkenal pragmatikus, sedikit bicara, banyak bekerja. Dalam upaya menjawab duduk masalah umat, ia bersama dengan orang-orang di sekitarnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah yang lalu hari ini menjadi salah satu ormas besar di Indonesia.

Sedangkan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari memang ditugaskan untuk mendirikan Pesantren di Tebuireng, Jombang dan menentukan untuk fokus pada kajian salafiyah, kitab-kitab kuning. Santri-santrinya banyak yang berdatangan untuk menimba ilmu. Cita-cita mendirikan jamiyah ulama sangat direspons baik oleh KH.A. Wahab Hasbullah untuk menciptakan wadah atau organisasi Islam yang moderat dan berasas pada Ahlussunnah wal Jamaah. Kemudian dibentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bentuk asosiasi ulama-ulama salafi.

Perjalanan keduanya memang sedikit berbeda. KH. Ahmad Dahlan cenderung menentukan jalur politik dalam membuatkan gerakan Islamiyah di Yogyakarta. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari lebih menentukan membesarkan pondok pesantrennya dengan kajian klasik.

Sampai pada suatu ketika sang Hadratussyekh mendapatkan sebuah kabar dari santrinya, "Kiai, ada gerakan yang ingin memurnikan agama, dan menciptakan tubuh amal perserikatan di Yogyakarta.”

Jawaban Hadratusyekh sangat singkat dan santai. "Oh, itu Mas Darwis. Ayo kita dukung."

NU dan Muhammadiyah yakni bentuk modernisasi Islam Nusantara. Islam yang memandang agama lebih merangkul pada semua aspek, bukan semua aspek harus dilandaskan pada agama. Asas kedua organisasi besar inilah yang lalu menumbuhkan agama Islam di Indonesia sebagai agama yang moderat, toleran, dan progresif. Keduanya mempunyai ideologi dan cara pandang Islam yang berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama-sama ingin mencapai tujuan yang satu, yaitu ridha Allah, dan Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Kita sudah tidak perlu berdebat mengenai amaliyah kita sebagai orang NU atau Muhammadiyah dalam ritual beribadah, alasannya menyerupai yang digambarkan di atas, bahwa kedua ormas ini lahir dari orang-orang besar, yang mempunyai satu tujuan, satu misi, dan dari guru dengan sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan hadist. Lalu mengapa, hari ini bangsa kita semakin merasa bahwa golongannya yakni yang paling benar?

Ketidakmampuan mengendalikan emosi, mendorong harapan seseorang untuk melaksanakan hal-hal yang bergotong-royong tidak perlu dilakukan. NU dan Muhammadiyah sejatinya yakni ormas yang berasas pada perlawanan orang-orang yang mengusik kesejahteraan bumi Nusantara. Bahkan di NU sendiri mempunyai slogan Hubbul wathon minal iman;  bahwa cinta tanah air yakni sebagian dari iman.

Maka, terang orang-orang yang mengusik ketentraman orang Indonesia bukanlah orang yang berlandas pada dasar dan tujuan dari berdirinya NU dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah yang akan menyatukan umat Islam Indonesia dari cara berpikir yang radikal dan ekstremis, yang justru akan mengancam Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.


Load comments