Selasa, 05 Februari 2019

Kisah Kiai Pencipta Shalawat Badar Didatangi Jago Badar

Hampir semua warga NU dan masyarakat Indonesia mengenal Shalawat Badar. Syair ini diawali dengan kata Shalatullah salamullah ala thaha rasulillah. Shalatullah salamullah ala yasin habibillah. Shalawat ini terdiri dari 24 bait dengan dua baris di setiap baitnya.

Namun siapa bersama-sama pengarang Shalawat Badar yang dikala ini sudah menjadi Mars NU?

Shalawat Badar dikarang oleh KH.M. Ali Manshur sekitar tahun 1960-an. Kiai Ali Manshur mempunyai garis keturunan berdarah ulama besar. Dari ayah, tersambung sampai Kiai Shiddiq Jember sedangkan dari jalur ibu, tersambung dengan Kiai Basyar, seorang ulama di Tuban.

"Abah dilahirkan di Jember pada 23 Maret 1921. Nasabnya masih menyambung ke Kiai Shidiq Jember. Kalau dari jalur ibu orisinil orang Tuban," kata putra kedua Kiai Ali yang berjulukan Kiai Syakir Ali

Shalawat Badar cukup umur ini sudah menjadi syair wajib bagi nahdliyin. Hampir setiap acara NU, shalawat ini dilantunkan. Bahkan sudah merambah ke genre musik pop yang dipopulerkan oleh beberapa band dan penyanyi religi. Tak hanya di Indonesia, Shalawat Badar juga dikenal di banyak sekali penggalan negara Islam di dunia.

Kiai Ali terkenal haus ilmu. Beliau berguru dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai dari Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Lasem Rembang, Pesantren Lirboyo Kediri sampai Pesantren Tebuireng Jombang.

Kiai Syakir mengisahkan, waktu kecil Kiai Ali berguru di Tuban. Setelah itu Kiai Ali ingin berguru ke Termas namun dia hanya punya modal sepeda onthel dan nasi jagung. Akhirnya dari Tuban ke Tremas, dia naik onthel dan bekal nasi jagung. Selama di pesantren Kiai Ali mendapatkan jasa ojek ke pasar dan hasilnya untuk membeli kitab.

"Kiai Ali suka ilmu Arrudh (Ilmu Sya'ir), dan berguru ilmu ini di Lirboyo. Beliau sering diajak diskusi  oleh pengasuh pesantren perihal dilema Arrudh. Menurut Gus Dur, Kiai Ali juga pernah berguru di Tebuireng," ujarnya.

Seusai nyantri, Kiai Ali kembali ke Tuban dan aktif berorganisasi di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Beliau juga aktif sebagai seorang pegawai di bawah Kementerian Agama. Tepatnya, menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan sampai promosi menjadi Kepala Kementerian Agama (Kemenag) di tingkat kabupaten.

Pada tahun 1955, Kiai Ali terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai NU Cabang Bali. Pada tahun 1962, dia tetapkan pindah ke Banyuwangi dan dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Banyuwangi. Selama di Banyuwangi inilah, Kiai Ali melahirkan karya fenomenal Shalawat Badar.

Ada dongeng yang sangat menyita perhatian sesaat sebelum Kiai Ali menulis Shalawat Badar. Kiai Ali bermimpi didatangi orang berjubah putih yang diduga para jago perang badar.

Dalam keputusan Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, Shalawat Badar  dikukuhkan menjadi Mars Nahdlatul Ulama (NU). Keputusan ini ditegaskan kembali oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikala menjabat ketua PBNU pada Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri. Pada Harlah ke-91 NU, Kiai Ali juga dianugerahi tanda jasa Bintang Kebudayaan atas karyanya ini.

"Awalnya banyak yang tidak tahu siapa penulis Shalawat Badar  sebelum Gus Dur menyebutkan Kiai Ali sebagai pengarangnya. Saat itu Gus Dur takut Shalawat Badar  diakui orang luar. Gus Dur minta saya bawakan data penguat bila Kiai Ali memang penulis Shalawat Badar  ke Jakarta," papar Kiai Syakir

Pasca dibahas oleh Gus Dur, nama Kiai Ali terus jadi materi percakapan di kalangan para jago sejarah dan budayawan, terutama dari kalangan Nahdliyin. Sehingga risikonya banyak para peziarah dari banyak sekali kawasan tiba ke Desa Maibit untuk ziarah dan menerangkan kebenaran ucapan Gus Dur.

Saat ini di makam Kiai Ali tertulis prasasti Shalawat Badar  yang terletak di bab barat makam. Setiap hari selalu ada yang berziarah ke makam, terutama para santri yang berguru di pesantren milik putra-putrinya di sekitar pesantren.

"Saya hanya menjelaskan sesuai yang dituliskan Abah saja. Saya fotokopikan catatan abah dan tak kasih kepada yang minta," ungkap Kiai Syakir.

Sosok Kiai Ali Manshur memang unik, makamnya berada di Desa Maibit, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban. Dulu tak banyak yang tahu bila Kiai Ali dimakamkan di Desa Maibit. Bahkan beberapa warga desa setempat tak mengenal sepak terjang Kiai Ali. Makam Kiai Ali gres beberapa tahun terakhir direnovasi dan sering dikunjungi khalayak ramai.

Menurut Kiai Syakir, hal ini bukan disengaja melainkan memang tak banyak orang mencari tahu. Barulah sesudah Gus Dur bicara perihal Shalawat Badar  banyak orang yang mencari dan menelisik sejarah Kiai Ali. Ia bersyukur Kiai Ali suka menulis dan punya catatan langsung setiap melaksanakan sesuatu. Sehingga tak resah menjelaskan kepada penanya.

"Abah itu punya buku harian dan suka menulis kegiatannya di buku harian, kertas kosong dan pinggir kitab. Sampai kini saya masih punya catatan langsung Kiai Ali dalam goresan pena Pegon dan Latin," akunya

Diantara catatan dalam goresan pena pegon yang ditemukan seperti: 

“Naliko kulo gawe lagune Shalawat Badar, yoiku sak ba'dane teko songko Makkah al-Mukarramah, kang tak anyari waktu lailatul qiro'ah kelawan ngundang almarhum Haji Ahmad Qusyairi sak muride. Yoiku ono malem jum'at tahun 1960, tonggoku podo ngimpi weruh ono bongso sayyid utowo habib podho melebu ono omahku. Wa karimati, Khotimah, ugo ngimpi ketho' kanjeng Nabi Muhammad iku rangkul-rangkulan karo al-faqir. Kiro-kiro dino jum'at ba'da shubuh, tonggo-tonggo podho ndodok lawang pawon, podho takon: 'Wonten tamu sinten mawon kolo ndalu?'. Lajeng kulo tanglet Habib Hadi al-Haddar, dan dijawab: 'Haa ulaai arwaahu ahlil badri rodhi-yalloohu 'anhum'. Alhamdulillahi Robbil 'aalamiin".

Terjemahnya 

“Sewaktu saya menciptakan syair Shalawat Badar, yaitu sepulang dari Mekah al-Mukarromah, gres pertama kalinya saya populerkan dikala lailatul qira’ah dengan mengundang almarhum Haji Ahmad Qusyairi beserta santri-santrinya. Tepatnya pada malam Jum’at tahun 1960. Tetangga saya banyak yang bermimpi melihat para sayyid atau habib masuk ke rumah saya. Budhe Karimati dan Budhe Khotimah juga bermimpi melihat Nabi Muhammad saw. berangkul-rangkulan dengan al-faqir. Kira-kira hari Jum’at ba’da Subuh, para tetangga mengetuk pintu dapur, kemudian bertanya: ‘Ada tamu siapa saja tadi malam?’. Kemudian saya bertanya kepada Habib Hadi al-Haddar, dan dijawab: ‘Mereka ialah ruh-ruh jago Badar’. Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin.”

Gerbang Makam Ahli Perang Badar


"Shalawat Badar  meledak dan dipopulerkan ke banyak sekali wilayah untuk menandingi lagu hymne PKI 'Genjer-genjer'. Bila melihat isi shalawatnya maka tak bisa lepas dari kondisi zaman dikala itu. Banyak rakyat yang susah mencari makan alasannya perang sesama anak bangsa," bebernya.

Selain itu, sebelum wafat, Kiai Ali juga mengarang sebuah kitab adab dan mengumpulkan syair-syair indah. Jariyah lain yang ditinggalkan Kiai Ali yaitu madrasah di samping rumahnya. Hingga kini, madrasah tersebut sudah berkembang sampai tingkat aliyah.

"Membangun madrasah ini juga unik, dikala itu Kiai Ali minta pemborong menuntaskan bangunan madrasah dengan bayaran Rp. 50 ribu," tambah Kiai Syakir

Ciri khas Kiai Ali berdasarkan penuturan Kiai Syakir yaitu tegas, semangat mencari ilmu dan mengabdi pada NU. Kiai Ali sering menolak pinjaman dari pemerintah dan bahkan gajinya jarang diambil. Salah satu ketegasan Kiai Ali yaitu setiap hari Jum’at pukul 10.00 WIB, kantor tempat bekerjanya harus ditutup dan siap-siap ke masjid.

"Abah ini punya kemampuan komunikasi yang bagus. Sehingga dikala jadi wakil NU dia disukai dari pihak pro dan kontra. Hidupnya sederhana dan tidak banyak gaya. Hidup di rumah sederhana bekas temannya pun mau. Itulah Abah," tandas Kiai Syakir.


Load comments