Selasa, 05 Februari 2019

Khawarij, Gerakan Islam Radikal Pertama Di Dunia

Khawarij yakni salah satu sekte yang memberi banyak imbas terhadap gerakan ekstremisme dalam badan Islam.  Keberadaan mereka sempat mengubah potret pemikiran Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi wajah yang intoleran dan penuh kebencian terhadap sesama Muslim. Tulisan ini secara berseri akan mengupas secara mendalam sejarah kaum Khawarij mulai dari embrionya di masa Rasulullah, gerakan politik beserta tokohnya, aksi-aksi terorismenya dan paham keagamaannya.

Pengetahuan ihwal sejarah kaum Khawarij yakni hal penting untuk membaca beberapa masalah di masa modern yang mempunyai kemiripan dengan pola-pola gerakan Khawarij di masa lalu. Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan citra utuh ihwal apa dan bagaimana nalar ekstremisme berkembang di badan minoritas umat Islam.

Para  sejarawan berbeda pendapat ihwal siapa bahwasanya yang layak disebut sebagai Khawarij. Terjadi perpecahan di internal kaum Muslimin pasca-pembunuhan Khalifah Utsman di mana secara umum umat terbagi menjadi dua, yaitu kubu Ali bin Abi Thalib, sang khalifah keempat pengganti Utsman dan kubu oposisi yang terdiri dari kelompok Ummul Mukminin Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan. 

Kelompok Ummul Mukminin Aisyah sempat bentrok dengan pemerintahan Khalifah Ali dalam perang Jamal yang berakhir dengan kemenangan pihak Ali. Selanjutnya kubu Muawiyah menjadi penantang berikutnya di perang saudara yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Pada final perang ini kemudian terjadilah arbitrase (tahkim) antara kedua kubu yang bertikai. Hasil final arbitrase ini memenangkan pihak Muawiyah sehingga diangkatlah Muawiyah sebagai khalifah selanjutnya (As-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 15). 

Ali bin Abi Thalib sendiri tampak enggan mempertahankan statusnya lagi sebagai khalifah pasca-arbitrase ini. Hal inilah yang menciptakan banyak orang dari kubu Ali bin Abi Thalib kecewa sehingga memisahkan diri dari kelompok Ali dan mulai memeranginya.

Sebagian besar pengkaji sejarah Islam mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok yang keluar dari barisan pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib sehabis terjadinya arbitrase (tahkim) tersebut (Ali as-Shallabi, Fikr al-Khawâraij was-Syî’ah Fî Mîzân Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, halaman 16; Abdul Hamid Ali Nasir, Khilâfah Ali bin Abî Thâlib, halaman 297). 

Kelompok Khawarij tak segan menganggap Muawiyah sebagai orang kafir dengan alasan telah menentang Khalifah yang sah, tetapi juga mengafirkan Ali dengan alasan mau mendapatkan hasil arbitrase. Dengan demikian, semua golongan yang ada dianggap kafir kecuali diri mereka sendiri.

Pasukan Gerakan ISIS (anak ideologi Khawarij)


Definisi secara umum dikuasai sejarawan menyerupai di atas yakni definisi Khawarij secara sempit. Dengan definisi tersebut, Khawarij sanggup dibilang sudah musnah dan tak ada di masa berikutnya selepas matinya seluruh pihak penentang Ali tersebut. Sebagian mahir lainnya mendefinisikan Khawarij secara lebih luas hingga meliputi siapa pun yang keluar dari kubu penguasa yang sah, contohnya as-Syahrastani yang mendefinisikan  Khawarij sebagai berikut:

كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يسمى خارجياً، سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين لهم بإحسان والأئمة في كل زمان

"Setiap orang yang keluar menentang pemimpin yang sah yang telah diputuskan oleh masyarakat disebut sebagai Khawarij,  baik penentangan itu terjadi di masa sahabat terhadap para Khulafaur Rasyidin atau terjadi sehabis mereka terhadap para tabiin yang baik dan para pemimpin di setiap zaman". (as-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, juz I, halaman 114).

Dengan definisi menyerupai ini, maka Khawarij sanggup dikatakan tetap ada hingga ketika ini. Seluruh kelompok pemberontak dan separatis di suatu negara masuk dalam kategori Khawarij alasannya mereka menentang pemimpin yang sah. Dalam kedua definisi di atas, tampak bahwa bahwasanya khawarij yakni sebuah gerakan politik bukan gerakan agama alasannya sorotan utamanya yakni duduk masalah kepemimpinan politik, namun kemudian gerakan ini menggunakan isu-isu agama sebagai propaganda utama untuk melawan pemerintah. Dari penentangannya terhadap pemerintah inilah mereka menerima nama Khawarij yang secara harfiah berarti “orang-orang yang keluar”. Ibnul Jauzi mencatat bahwa para Khawarij tak henti-hentinya selalu keluar untuk menentang pemerintah. (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 86).

Kekejaman ISIS (anak ideologi Khawarij)


Dalam perkembangannya, Khawarij dikenal dengan banyak sekali nama atau julukan yang berbeda. Di antaranya adalah: al-Haruriyah, mereka disebut demikian alasannya markas mereka yang pertama berada di kawasan Harura’. Di Harura’ inilah generasi pertama dari Khawarij tinggal dan menyusun kekuatannya. Mereka juga dikenal dengan nama as-Syurah yang secara harfiyah berarti “para pembeli” alasannya di antara jargon mereka yakni “Kami membeli nirwana dengan diri kami”. Selain itu juga ada julukan al-Muhakkimah alasannya mereka mempunyai slogan “Tak ada aturan kecuali milik Allah”. Selain julukan yang netral dan bahkan sepintas terkesan positif ini, mereka juga dikenal dengan julukan al-Mariqah yang berarti kelompok yang menjauh dari agama alasannya keberadaan mereka selalu diidentikkan dengan orang-orang yang oleh Nabi Muhammad saw. disebut menjauh dari agama menyerupai melesatnya anak panah dari busurnya. (Abul Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, halaman 127-128).

Seluruh julukan itu mereka terima kecuali julukan terakhir alasannya meskipun seluruh Muslim lain menganggap mereka menyimpang dari agama, tetapi berdasarkan mereka sendiri justru sebaliknya orang-orang lainlah yang telah menyimpang dan keluar dari agama. 

Meskipun Khawarij yakni kelompok ekstremis yang ada di masa Sahabat, namun embrionya sanggup kita lacak keberadaannya semenjak masa Rasulullah saw. Cikal bakal tabiat Khawarij ini tergambar dalam sosok Dzul Khuwaishirah, seorang Muslim pedesaan yang merasa dirinya lebih baik daripada Rasulullah Muhammad saw. sehingga tak ragu memperlihatkan koreksi pada beliau. Nama Dzul Khuwaishirah terkenal di kalangan kaum Muslimin tatkala terjadi pembagian hasil rampasan perang Hunain. Dalam Shahih Bukhari diceritakan:

“Dari Abu Sa'id Al Khudri radliallahu 'anhu, dia berkata: "Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw. yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta rampasan), datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang pria dari Bani Tamim, kemudian berkata; "Wahai Rasulullah, engkau harus berlaku adil". Maka dia berkata: "Celaka kamu!. Siapa yang sanggup berbuat adil kalau saya saja tidak sanggup berbuat adil. Sungguh kau telah mengalami keburukan dan kerugian bila saya tidak berbuat adil". Kemudian Umar berkata; "Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal batang lehernya!”. Beliau berkata: "Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan mempunyai teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al-Qur'an namun tidak hingga ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama menyerupai melesatnya anak panah dari sasaran (hewan buruan).” (HR. Bukhari)

Latar belakang kritik pedas Dzul Khuwaishirah itu terhadap Rasulullah saw. berdasarkan Ibnul Jauzi dikarenakan ketika pembagian hasil rampasan perang Hunain, Rasulullah memang mengutamakan sebagian kelompok yang tak lain yakni para muallaf (non-Muslim yang diperlukan masuk Islam). Hal inilah yang kemudian menciptakan seorang Dzul Khuwaishirah berkata: “Demi Allah, ini yakni pembagian yang Rasulullah tidak adil melakukannya”. Lalu ia mendatangi Rasulullah menyerupai yang diceritakan dalam riwayat Bukhari di atas. (Ibnu al-Jauzi, Kasyf al-Musykil Min Hadits as-Shahîhain, juz I, halaman 306). 

Tentu saja pendapat Rasulullah untuk mengutamakan para muallaf itu sama sekali tidaklah salah alasannya misi utama Rasulullah memang untuk membujuk insan sebanyak-banyaknya semoga masuk Islam. Karena itulah para muallaf juga sanggup bab dari harta zakat kaum Muslimin. Seluruh sahabat ketika itu sama sekali tak merasa Rasulullah melaksanakan ketidakadilan, namun berbeda halnya dengan Dzul Khuwaishirah yang memang merasa pendapatnya lebih baik dari pendapat Rasulullah saw. hingga berani menuduh dia tidak adil. Tuduhan ini tentu sebuah hal serius pada seorang Rasul sehingga Umar meminta izin untuk memberi sanksi mati pada orang tersebut, namun dihentikan oleh Rasulullah. Ibnul Jauzi dalam kitab Talbîs Iblîs mengomentari sosok Dzul Khuwaishirah sebagai berikut:

أول الخوارج وأقبحهم حالة ذو الخويصرة هَذَا الرَّجُل يقال لَهُ ذو الخويصرة التميمي وفي لفظ أنه قَالَ لَهُ اعدل فَقَالَ ويلك ومن يعدل إذا لم أعدل فهذا أول خارجي خرج فِي الإسلام وآفته أنه رضي برأي نفسه ولو وقف لعلم أنه لا رأي فوق رأي رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأتباع هَذَا الرَّجُل هم الذين قاتلوا عَلِيّ بْن أبي طالب كرم اللَّه وجهه

“Khawarij pertama dan yang paling jelek tindakannya yakni orang ini yang disebut Dzul Khuwaishirah at-Tamimi. Dalam suatu riwayat Dia berkata kepada Nabi: "Adillah!" kemudian Nabi bersabda: "Celakalah kamu, Siapakah yang sanggup adil kalau saya saja tidak adil?". Inilah khawarij pertama yang muncul dalam Islam. Masalah utamanya yakni dia puas terhadap pendapatnya sendiri yang andai ia membisu berpikir tentu ia mengerti bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah saw. Pengikut orang ini yakni orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib.” (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 81-82).

Dalam hadits tersebut juga disebutkan ihwal ramalan Rasulullah yang menyatakan bahwa Dzul Khuwaishirah kelak akan mempunyai kawan-kawan yang mahir ibadah sehingga shalat dan puasa mereka jauh melampaui shalat dan puasa sahabat-sahabat besar ketika itu. Ramalan Rasulullah tersebut terbukti benar tatkala sejarah mencatat bahwa Dzul Khuwaishirah bergabung dengan para Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali dan kesudahannya terbunuh di dalam perang Nahrawan. 

Ibadah keras mereka ternyata sama sekali tak bermanfaat ketika rujukan pikir yang mereka miliki bermasalah sehingga Rasulullah menggambarkan sosok Khawarij itu sebagai sosok yang membaca Al-Qur’an namun pesan-pesan Al-Qur’an sama sekali tak sanggup masuk. Betapa banyak ayat dan hadits yang menjelaskan kehormatan dan kemuliaan kaum Muslimin tetapi dengan mudahnya mereka memerangi mereka hanya lantaran berbeda pendapat. Mereka merasa perbedaan pendapat merupakan suatu kemungkaran sehingga harus diperingatkan dengan amar makruf nahi munkar, termasuk pada Rasulullah dan para Khalifah Rasyidin sekalipun yang notabene jauh lebih paham agama daripada mereka. Mereka justru melesat menjauhi pemikiran Islam menyerupai anak panah melesat menjauhi busurnya, meskipun mereka sendiri mahir ibadah yang sulit dicari tandingannya. Dari sinilah kemudian julukan al-Mariqah (kelompok yang melesat menjauh) juga disematkan kepada pihak Khawarij.


Load comments