Kamis, 14 Februari 2019

Enam Kondisi Yang Diperbolehkan Menggunjing

Pada dasarnya, ghibah ialah perbuatan tercela yang tidak boleh oleh Islam. Tetapi dalam suatu kondisi, kita boleh menempuh jalan tersebut lantaran kepentingan-kepentingan tertentu yang hendak dituju. Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi di mana seorang Muslim boleh mengghibahkan orang lain:

“Ketahuilah, ghibah -sekalipun diharamkan- dibolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan. Hal yang membolehkan ghibah ialah sebuah tujuan yang dibenarkan berdasarkan syariat di mana tujuan tidak tercapai tanpa ghibah tersebut. Hal itu ialah satu dari enam sebab,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).

Secara lebih rinci Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi itu sebagai berikut:

Pertama, dalam sidang kasus di muka hakim. Seseorang boleh menceritakan penganiaya yang memperlakukannya secara zalim.

Kedua, dalam melaporkan pelanggaran aturan kepada abdnegara kepolisian atau otoritas terkait dengan niat mengubah kemungkaran tersebut.

Ketiga, dalam meminta pedoman kepada seorang mufti. Seseorang boleh menceritakan masalahnya untuk memperlihatkan citra yang terperinci bagi ulama yang mengeluarkan fatwa. Tetapi bila penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.

Keempat, dalam mengingatkan publik supaya terhindar dari kejahatan pihak baik personal maupun institusi. Hal ini dilakukan antara lain oleh para hebat hadits terhadap perawi-perawi bermasalah atau contohnya dalam konteks kekinian ialah travel umrah bermasalah.

Kelima, dalam kondisi di mana pihak-pihak tertentu melaksanakan kejahatan terang-terangan menyerupai meminum khamar, mengambil harta secara zalim, menarik upeti, mengambil kebijakan-kebijakan batil. Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibah pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan malu lain pihak tersebut yang tidak dilakukan secara terang-terangan.

Keenam, menandai seseorang dengan kekurangan fisik atau gelar-gelar buruknya. Misalnya Abdullah. Orang berjulukan Abdullah tidak satu. Tetapi kita boleh menyebutnya tanpa maksud merendahkan, “Abdullah yang buta, Abdullah yang tuli, Abdullah yang bisu, dan lain sebagainya.” Baiknya sebutan itu didahului kata “maaf” untuk menghilangkan kesan merendahkan.

Imam Nawawi mengajak kita mempertimbangkan alasannya ialah keenam kondisi tersebut. Sebab keenam ini dapat dipakai dengan niat identifikasi, bukan maksud merendahkannya. Imam Nawawi menyarankan kita untuk memakai identifikasi lain bagi seseorang di luar identifikasi fisik.



Enam kondisi ini bukan mengada-ada. Enam kondisi ini disarikan dari banyak sekali hadits shahih antara lain riwayat yang dikemukakan sobat Ibnu Mas‘ud ra. sebagai berikut:

“Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud ra. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw. membagikan ghanimah suatu peperangan. Ada salah seorang Anshar kecewa, ‘Demi Allah, Muhammad dengan ini sedang tidak mengharapkan ridha Allah.’ Aku -kata  Ibnu Mas‘ud- menemui Rasulullah saw. kemudian menceritakan kekecewaan tersebut. Seketika warna wajah Rasulullah saw. berubah lantaran murka kemudian berkata, ‘Semoga Allah memperlihatkan rahmat-Nya untuk Musa yang disakiti umatnya lebih dari ini, kemudian beliau bersabar.’ Pada sebagian riwayat, Ibnu Mas‘ud ra. berkata, ‘Setelah itu saya tidak membawa dongeng kekecewaan seorangpun kepada Rasulullah saw.’ Menurut kami, Imam Bukhari berhujah dengan hadits ini ihwal kebolehan seseorang yang menceritakan ucapan orang lain,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).

Hadits lain yang berkaitan dengan kondisi pedoman atau meminta pedoman atau pertimbangan jodoh ialah hadits riwayat Hindun dan Fathimah binti Qais berikut ini:

“Dalam kitab Shahih diriwayatkan hadits Hindun, istri Abu Sufyan dan keluhannya kepada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan ialah suami yang bakhil...’ dan hadits Fathimah binti Qais yang meminta pertimbangan dua lelaki yang meminangnya, kemudian Rasulullah saw. menyampaikan kepadanya, ‘Muawiyah bin Abu Sufyan lelaki miskin. sedangkan Abu Jahm tak pernah lepas tongkat dari bahunya (suka memukul istri),’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 294).

Dari pelbagai hadits itu, ulama menyimpulkan bahwa ghibah pada enam kondisi ini dibolehkan tanpa maksud merendahkan, tetapi dengan niat memperjelas atau mengatasi persoalan.

فهذه ستة أسباب ذكرها العلماء مما تباح بها الغيبة على ما ذكرناه. وممن نص عليها هكذا الإمام أبو حامد الغزالي في  الإحياء وآخرون من العلماء، ودلائلها ظاهرة من الأحاديث الصحيحة المشهورة، وأكثر هذه الأسباب مجمع على جواز الغيبة بها.

“Ini enam alasannya ialah yang disebutkan ulama di mana seseorang boleh melaksanakan ghibah. Ulama yang menyebutkan alasannya ialah ini antara lain ialah Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin dan sejumlah ulama lain. Dalilnya jelas, hadits-hadits shahih yang masyhur. Mayoritas alasannya ialah yang disebutkan disepakati ulama terkait kebolehan ghibah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).

Ghibah dibolehkan untuk kepentingan umum, kepentingan hukum, atau maslahat yang dibolehkan berdasarkan syar’i. 

Wallahu A’lam


Load comments