Kamis, 14 Februari 2019

Cara Rasulullah Memperlakukan Narapidana

"Dan tidaklah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya: 107)

Demikianlah pernyataan Allah terhadap Rasulullah sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an. Kasih sayang Rasulullah mencakup alam semesta; umat non-Muslim, hewan, tumbuhan, jin, dan lainnya, tidak hanya tertuju kepada umat Islam saja. Dalam skala lebih kecil, rahmat Rasulullah tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja yang menjadi pengikutnya, namun juga bagi umat non-Muslim yang menjadi tawanannya ketika kalah perang. 

Setelah perang Badar misalnya, setidaknya ada 70 musyrik Quraisy yang berhasil ditawan umat Islam. Mereka diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa dengan semena-mena, dan tidak dicederai kehormatannya. Merujuk buku Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir) dan buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), Rasulullah memperlakukan tawanannya dengan empat cara.

Pertama, dihukum mati, namun ini sangat jarang sekali dilakukan. Dalam masalah tawanan perang Badar, hanya dua orang yang dihukum mati, sebagian besarnya dilepaskan dengan syarat ataupun tanpa syarat. Yaitu Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith. Mereka berdua dibunuh alasannya yakni kejahatan perangnya yang besar, bukan alasannya yakni faktor balas dendam. 

Kedua, dibebaskan dengan tebusan. Rasulullah sangat memperhatikan kondisi ekonomi setiap tawanannya. Jumlah tebusannya pun bervariasi, tergantung harta yang dimiliki mereka. Uang tebusan ini nantinya akan dipakai untuk keperluan umat Islam, bukan untuk Rasulullah secara pribadi. Diantara tawanan yang dilepas dengan tebusan harta yakni Abu Wada’ah dan Zararah bin Umair –saudara Mus’ab bin Umair (4000 dirham), al-Abbas bin Abdul Muthalib (100 uqiyah), Aqil bin Abu Thalib (80 uqiyah), dan lainnya.  

Menariknya, tebusan tidak hanya berupa uang atau harta saja. Bisa juga tukar barang tawanan perang. Dalam masalah Abu Amr bin Abu Sufyan misalnya, dia dilepaskan dengan syarat kaum musyrik juga melepaskan Sa’ad bin an-Nu’man bin Akal yang ditawan Abu Sufyan ketika umrah. 

Ketiga, dibebaskan dengan syarat mengajarkan baca-tulis. Rasulullah tahu dan sadar kalau tidak semua tawanannya mempunyai harta benda yang melimpah. Oleh karenanya, Rasulullah mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi duduk masalah itu. Bagi tawanan yang dapat baca-tulis, mereka akan dibebaskan bila mau mengajari umat Islam atau belum dewasa Anshar perihal baca-tulis.  

“Beberapa tawanan perang Badar ada yang mempunyai uang untuk tebusan, maka Rasulullah menimbulkan tebusannya dengan mengajar belum dewasa Anshar,” sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas.

Keempat, dibebaskan tanpa syarat apapun. Rasulullah juga membebaskan beberapa tawanannya tanpa uang tebusan sama sekali. Rasulullah tidak melaksanakan itu atas kehendak sendiri, akan tetapi keputusan itu diambil sesudah ia mendiskusikannya dengan para sahabatnya. Iya, Rasulullah yakni orang yang mengedepankan musyawarah dalam menuntaskan suatu hal.

Adalah Abul Ash bin Ar-Rabi, suami Sayyidah Zainab putri Rasulullah, salah seorang tawanan perang yang dilepaskan tanpa uang tebusan. Pada ketika itu, menantu Rasulullah itu belum masuk Islam dan ikut bertarung di barisan kaum musyrik Makkah ketika perang Badar. Nahasnya, kaum musyrik kalah dan dia tertawan. Semula Sayyidah Zainab menebus Abul Ash dengan kalung hadiah dari ibundanya Sayyidah Khadijah, namun Rasulullah mengembalikan itu dan membebaskan Abul Ash sesudah bermusyawarah dengan para sahabatnya. 

“Seandainya Al-Muth’im bin Adi (pembesar kaum Musyrik) masih hidup, lalu ia berbicara kepadaku perihal para tawanan ini, niscaya saya akan melepaskan mereka untuknya,” kata Rasulullah di hadapan tawanan perang Badar. Al-Muth’im yakni salah seorang elit musyrik yang dihormati Rasulullah. Dia yakni salah seorang yang ikut membatalkan perjanjian boikot yang dilancarkan kaum musyrik kepada Bani Hasyim.



Sikap baik Rasulullah terhadap para tawanan tidak jarang mengakibatkan mereka alhasil memeluk Islam. Diantaranya yakni Tsumamah bin Atsal, seorang pemimpin Bani Hanifah. Pada ketika itu, dia tiba ke Madinah untuk membunuh Rasulullah. Namun gelagatnya tercium oleh para sahabat. Akhirnya dia ditawan. 

Rasulullah yang mengetahui hal itu lalu menyuruh sahabatnya untuk memberinya makan. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Tentu saja keadaan ini menciptakan para sahabat kebingungan. Bagaimana mungkin seorang yang hendak membunuh Rasulullah malah diberi makan, diperlakukan dengan penuh hormat, dan dimaafkan. Tsumamah lalu dilepaskan sesudah beberapa hari ditawan. Menariknya, sesudah dilepaskan Tsumamah kembali kepada Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam.

Wallahu A’lam


Load comments