Kamis, 14 Februari 2019

Bahaya Besar Menggunjing Orang Lain Berdasarkan Nabi

Persaingan dan cemburu merupakan perilaku masuk akal yang tidak perlu dikhawatirkan. Keduanya merupakan perilaku manusiawi. Yang dihentikan ialah tindakan berlebihan dan melewati batas ibarat ujaran kebencian alasannya ialah keduanya. Rasulullah juga pernah menghadapi salah seorang yang dilanda cemburu berlebihan.

Siti Aisyah ra. secara jujur menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah menegur dirinya alasannya ialah melontarkan perkataan yang menyangkut fisik istri Rasulullah saw. lainnya. Rasulullah saw. tidak segan menegur sebuah tindakan seseorang di luar batas dalam mengekspresikan perasaan cemburu atau kecewa sebagaimana riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi berikut ini:

Diriwayatkan kepada kami dalam Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Aisyah ra., ia berkata, “Aku pernah menyampaikan kepada Rasulullah saw., ‘Cukup bagimu perihal kekurangan Shafiyyah yang ini dan itu,’–sebagian perawi menyampaikan bahwa yang dimaksud Aisyah ialah soal tinggi tubuh Shafiyah yang rendah.–Rasul menegurku, ‘Engkau telah melontarkan sebuah kalimat luar biasa, yang bila dilemparkan ke laut, pasti ia akan bercampur (mengubah rasa air) bahari tersebut.’ Aku juga pernah menceritakan (keburukan) seseorang kepada beliau. Lalu Rasul menanggapi, ‘Aku tidak suka bercerita perihal seseorang dan saya mendapatkan (keuntungan) ini dan itu.’’ At-Tirmidzi menyampaikan bahwa hadits ini hasan shahih,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,  hal. 289)

Imam An-Nawawi yang mengutip hadits ini dalam kitab Al-Adzkar menyampaikan bahwa bila saja ucapan ghibah itu berwujud fisik kemudian dilemparkan ke laut, pasti ucapan keji itu mengubah rasa dan aroma air bahari tersebut menjadi basi dan pahit.

Menurut Imam An-Nawawi, ia belum pernah menemukan hadits lain di mana Rasulullah saw. berbicara sekeras ini menanggapi duduk kasus ghibah. Ia juga berdoa kepada Allah semoga melindungi kita semua dari tindakan yang dibenci oleh Allah itu sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi berikut ini:

“Menurutku (kata Imam An-Nawawi), maksud ‘bercampur’ ialah percampuran yang sanggup mengubah rasa dan basi air bahari alasannya ialah sangat basi busuk dan keburukan kalimat tersebut. Hadits ini merupakan salah satu larangan terkuat perihal ghibah atau bahkan larangan paling kuat. Saya tidak menemukan hadits lain yang mengecam keburukan ghibah melebihi hadits ini. Allah berfirman, ‘Tidaklah ia (Nabi Muhammad saw.) berbicara menurut hawa nafsu. Ucapannya itu ialah wahyu yang diturunkan kepadanya belaka’ (QS. An-Najm). Kita memohon kelembutan dan pemeliharaan dari segala yang perbuatan yang dibenci kepada Allah yang murah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 289-290).

Imam An-Nawawi tampak sekali menjaga diri dari ghibah. Ia menawarkan hal ini dikala ditanya pandangannya soal paham kontroversial Ibnu Arabi yang hidup seabad sebelumnya sebagaimana didokumentasikan oleh Syekh Ibnu Ajibah berikut ini:

“Adapun bentuk penghormatan (kita) terhadap orang terdahulu -mereka yang  dimaksud ialah para sobat rasul, tabi‘in, para wali, orang-orang saleh, dan ulama- ialah hanya menyebut kebaikan mereka dan mengambil madzhab (jalan atau pandangan) terbaik dari mereka. Imam An-Nawawi dikala ditanya sikapnya terhadap pandangan Ibnu Arabi (yang wafat lebih dulu) menjawab dengan bijak, ‘Perkataan (Ibnu Arabi) ialah perkataan kalangan sufi. Ia termasuk umat terdahulu. Mereka akan mendapatkan jerih payah mereka. Begitu juga kalian. Kalian akan mendapatkan jerih payah kalian. Kalian takkan diminta pertanggungjawaban atas jerih payah mereka.’ Salah satu bentuk penghormatan (kita) untuk mereka ialah permohonan ampunan dan ridha Allah untuk mereka. Allah berfirman, ‘Orang-orang beriman yang tiba sepeninggal mereka berdoa, ‘Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang beriman yang telah mendahului kami’.” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah Al-Hasani, Al-Futuhatul Ilahiyyah fi Syarhil Mabahitsil Ashliyyah, hal. 263).

Ilustrasi menggunjing


Menceritakan atau menciptakan sebuah narasi ihwal seseorang atau forum tertentu yang sanggup menguntungkan diri secara duniawi sekalipun sebaiknya dihindari. Pasalnya, dosa ghibahnya lebih besar daripada laba duniawi tersebut sebagaimana keterangan Syekh Ibnu Alan perihal keterangan Imam An-Nawawi berikut ini:

“Ini merupakan kode atas besarnya dosa ghibah. Sementara laba -meskipun banyak- yang didapat dari ghibah itu tidak sebanding dengan dosa ghibah tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah saw. dengan ‘ini dan itu’. Kata ini merupakan kiasan yang mengilustrasikan kuantitas yang demikian banyak. Meninggalkan ghibah ialah jalan keselamatan. Sedangkan acara (dengan niat) baik itu membawa keuntungan. Tetapi jalan keselamatan harus didahulukan dibandingkan laba sebagaimana keterangan telah lalu. Wallahu a‘lam,” (Lihat Muhammad bin Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, juz VI, hal. 390).

Dari pelbagai catatan di atas, kita sanggup menarik kesimpulan bahwa warna-warni batin yang kita rasakan termasuk marah, bahagia, cemburu, sedih, kecewa, dan perasaan lainnya ialah sesuatu yang sangat manusiawi. Yang perlu diperhatikan ialah bagaimana kita mengendalikan perasaan itu semoga tidak melahirkan ucapan (ujaran kebencian) atau tindakan yang melewati batas-batas baik aturan syariat maupun aturan kasatmata yang berlaku di Indonesia, termasuk salah satunya ialah menyerang kekurangan fisik orang lain. 

Wallahu A’lam


Load comments