Minggu, 17 Februari 2019

Arti “Khilafah Islamiyah” Berdasarkan Imam Al-Ghazali

Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia yakni sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih pribadi oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, sistem pemilihan pribadi oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan Khalifah.

Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah adonan dua forum tinggi, dewan perwakilan rakyat dan DPD yang sanggup disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.

Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya sanggup dilihat dari sudut sistem pemilihan dan prosedur peresmian presiden saja, namun juga sanggup dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad, menyatakan, “Dengan demikian tidak sanggup dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) alasannya mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.

Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia yakni pemerintah yang sah. Siapa pun tidak sanggup mengingkarinya.

Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, yakni tidak diperlukan. Apalagi bila konversi sistem itu akan menjadikan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapat pemberian rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad)

Terlebih, mendirikan khilafah populer diseluruh dunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini: 

Pertama, khilafah populer diseluruh dunia tidak mempunyai akar dalil syar’i yang qath’i. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, yakni adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di banyak sekali negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat pribadi dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa pola perkara dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.

Kedua, problem imamah (pemerintahan) dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah pecahan dari perkara aqidah, melainkan termasuk problem siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.

Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di kawasan lain. Menegakkan Islam di suatu kawasan di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain menyerupai di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional yakni wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.

Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan aturan pidana Islam. Seperti bagi pezina dirajam, pencuri dipotong tangan, hukuman bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan mengakibatkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim alasannya takut terhadap hukuman aturan tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.

Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan eksekusi tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.

Keenam, bila memang disepakati wangsit formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan.Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin menyerupai tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di pecahan wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melaksanakan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, pasti warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.

Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa impian untuk mendirikan “Khilafah Islamiyah” akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.

Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan berdasarkan syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah menghindari mudharat lebih utama daripada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan daripada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapat sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.

Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan dihentikan menjadikan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya berdasarkan Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, supaya kehidupan agama dan dunianya kondusif sentosa dari bahaya dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad).

Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan yakni menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak sanggup ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya yakni keharusan profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar).



KH.M.A. Sahal Mahfudz menyatakan perilaku NU pada ketika khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: “NU juga semenjak awal mengusung anutan Islam tanpa melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syari’at Islam sanggup diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat”.

Dalam kaitan ini, perilaku NU jelas, keinginan untuk mengkonversi sistem pemerintahan, tidak mempunyai akar syara’, malahan bertentangan dengan serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di banyak sekali institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi. Bagi NU, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta NKRI yakni upaya simpulan umat Islam Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.


Load comments