Kamis, 31 Januari 2019

Panduan Berpolitik Yang Baik Berdasarkan Ulama Aswaja

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– bila sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh lantaran itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaimana yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah sanggup mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak mempunyai patokan yang baku perihal negara. Suatu negara diberi kebebasan memilih bentuk pemerintahannya, sanggup demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memperlihatkan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut sanggup diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara menggunakan bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Asy-Syura/42: 36-39

“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu ialah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih abadi bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang mendapatkan (mematuhi) permintaan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.”

Menurut ayat di atas, syura merupakan fatwa yang setara dengan doktrin kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi maaf sehabis marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memperlihatkan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan¬-akan musyawarah merupakan suatu bab integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS. An-Nisa'/4: 58

“Sesungguhnya Allah menyuruh kau memberikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kau apabila memutuskan aturan diantara insan supaya kau memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) semoga sanggup melaksanakan hak-hak mereka. Hak¬-hak tersebut dalam syariat dikemas dalam al-Ushul al¬-Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

1.) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).

2.) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.

3.) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.

4.) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.

5.) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam periode kini ini lebih ibarat Hak Asasi Manusia (HAM).

Partai Politik di Indonesia


d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara mempunyai kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa bahwasanya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas ialah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud ialah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Makara kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pernah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana aturan Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai¬-nilai yang terkandung di dalamnya banyak ibarat prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara berdasarkan Aswaja.

Dalam periode globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat insan banyak mengalami perubahan yang mendasar, contohnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, ketika ini sudah tidak dikenal lagi bahkan kondisi umat insan sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus sanggup ditegakkan.

Pada masa kemudian banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada ketika ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula bila pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka ketika ini aqidah bukanlah merupakan satu¬-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, bila umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang fundamental bagi umat Islam lantaran pemekaran tersebut niscaya banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara remaja mendapatkan transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus sanggup mendapatkan seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

Oleh: KH. Said Aqil Siradj


Load comments